Lalu petugas tadi melayani kami untuk check in. Menerima bagasi. Menimbangnya. Cepat sekali. Cekatan. Delapan penumpang selesai check in.
Kami diminta naik pesawat. Ketika pesawat itu mengudara si petugas pulang. Bandara dikunci lagi. Sampai pada jam kedatangan pesawat berikutnya.
Saya bayangkan bandara Logan lebih kecil dari itu. Tapi mungkin selalu ada orang. Ada perusahaan penerbangan yang berkantor di situ. Tentu itu perusahaan kecil yang tidak punya pesawat penumpang besar.
Yang jelas MARPAT memiliki Huey yang legendaris. Memeliharanya. Merawatnya agar tetap bisa terbang. Seadanya. Tidak ada peralatan recording di cockpit-nya. Kelihatannya sengaja tidak ditambahi peralatan modern. Biar tetap antik seperti aslinya. Maka analisis penyebab kecelakaan menjadi lebih sulit. Tidak ada bantuan rekaman apa pun.
Hanya mengandalkan kondisi fisiknya.
Jenis helikopter ini N98F, Bell UH-1B. Huey adalah nama julukan. Nama itu ditulis di hidung helikopter. Sejak bertugas di Vietnam.
Nama Huey tidak ada artinya. Itu ejekan untuk orang yang mabuk kebanyakan minum minuman keras. Mungkin Huey itu kalau di kita hueeek. Yakni suara yang keluar dari tenggorokan orang mabuk.
Sebenarnya masih ada satu hari lagi penerbangan Reuni Huey. Keesokan harinya. Yang mendaftar sudah penuh. Tinggal tunggu jadwal untuk bisa terbang: satu kali terbang membawa 6 orang –salah satu jadi pilot.
Kian tahun acara Reuni Huey ini kian populer. Ini tahun ke-7. Selama enam tahun terakhir lancar saja. Inilah acara tahunan menyambut hari kemerdekaan yang bernuansa patriotik.
Pendaftar ''reuni bersama Huey'' itu umumnya keluarga tentara. Atau pensiunan. "Kami ini keluarga patriot. Ayah veteran perang dunia ke-2. Kakak juga tentara," ujar keluarga pilot seperti dikutip di berbagai media di Amerika.
Lalu, kakak-adik itu sama-sama bertugas di Perang Vietnam.
Di perang yang dimenangkan Vietnam itu, Huey mengangkut banyak sekali tentara. Mondar-mandir. Maka masih banyak tentara yang ingin merasakan lagi naik Huey. Kali ini tanpa merasa takut ditembak dari bawah.
Ternyata jatuh juga akhirnya.
Senja itu ditutup dengan duka.(Dahlan Iskan)