Ketika tidurnya belum lelap, Anang dibangunkan. Rombongan HMI sudah tiba. Mereka datang 1,5 jam lebih cepat dari rencana. Anang langsung bangkit dari kursi. Ia menemui pendemo. Belum sempat makan siang.
Rombongan HMI ini sekitar 25 orang. Juga demo soal kenaikan harga BBM. Anang minta mereka masuk ruang sidang pleno DPRD.
Pimpinan demo ia minta duduk di kursi pimpinan. Bersebelahan dengan Anang dan para wakil ketua.
Saat itulah pendemo mulai berteriak-teriak. Kenaikan harga BBM ini tidak sesuai dengan Pancasila.
Mereka lantas meminta para pimpinan DPRD mengucapkan teks Pancasila.
"Paling-paling para pimpinan ini tidak hafal," teriak mereka.
Anang pun berdiri. Mengucapkan teks Pancasila. Urutan pertama benar. Pun sampai butir ketiga. Benar semua. Ketika masuk butir keempat teks yang diucapkan Anang tidak tepat. Pendemo teriak-teriak: salah, salah, salah.
Gaduh.
Itu di luar perkiraan Anang.
"Waktu diminta mengucapkan Pancasila saya pede saja. Saya langsung berdiri. Gak masalah. Masak Pancasila tidak hafal," ujar Anang kepada saya kemarin.
"Ternyata tiba-tiba saya tidak hafal bunyi butir keempat. Imun saya lagi turun," katanya.
"Ya sudah. Saya harus mundur. Saya ini kan sering ceramah tentang Pancasila, NKRI, UUD 45, dan kebangsaan. Kan memalukan. Tidak hafal Pancasila," katanya.
Sebenarnya saya sendiri tidak setuju Anang mengundurkan diri. Tapi karena Anang ingin konsisten dengan sikapnya itu saya pun berubah jadi bangga padanya.
"Saya ini kader NU, kader PKB, Ketua DPRD. Saya harus menjaga nama baik semua itu. Tidak hafal Pancasila adalah memalukan," katanya.
Sebenarnya tidak hanya Anang yang tidak hafal. Pengucapan para wakil ketua juga salah.
"Hanya wakil ketua yang dari PDI-Perjuangan yang hafal sempurna," ujar Anang.