”Iya, Pak. Ayah meninggal ketika saya tujuh tahun. Ibu bahkan tak pernah saya kenal, kecuali lewat foto saat ayah dan ibu bersanding,” kataku. Saya berusaha menceritakannya dengan biasa saja. Saya paling tak suka dikasihani orang. Saya malas menceritakan kisah masa kecil saya kalau hanya membuat orang mengasihani saya.
Ibu saya meninggal ketika melahirkan adik saya. Saat itu saya masih dua atau tiga tahun. Ayah menikah lagi dengan sepupu ibu. Sebagai ibu pengganti, bibi saya itu merawat saya seperti anak sendiri. Saya bahkan tak tahu bahwa dia adalah ibu tiri sampai dia memberitahukannya. Ayah meninggal karena kecelekaan di kapal. Ayah petani, sesekali melaut, sebagaimana banyak penduduk di kampung kami, kampung petani dan nelayan di pesisir Kalimantan. Ayah punya kapal kecil bermesin tempel. Suatu pagi dia pergi melaut ketika kabut pekat menyamarkan jarak pandang. Udara laut lebih dingin dari biasanya.
”Sarung yang ia lingkarkan di leher, terlilit roda gila. Ayah mati tercekik, terapung-apung sampai ada nelayan lain yang menemukan ayah,” kataku.
Saya lihat dua perempuan di hadapan saya berlinang air mata. Saya lihat mereka menangis dengan tulus, karena terharu, bukan karena kasihan padaku. Batas antara kasihan dan cinta, di mata mereka saya bisa membedakannya. Ya, saya yakin mereka menangis karena cinta. Bukan karena kasihan. Mata saya ikut berair. Dari dalam tas, Inayah mengeluarkan tisu dan memberikannya kepada saya.
Setelah kematian ayah, ibu yang merawat saya, sepupu ibu kandung saya itu menikah lagi, dia titipkan saya di pesantren. ”Sepertinya sulit mencari lelaki yang mau menerima seorang janda dengan dua anak, dan satu orang anaknya bukan juga anak kandung,” kataku.
”Kamu sekolah di pesantren itu?” tanya ayah Inayah.
”Ya, Pak. Sampai tamat MTS. SMA saya masuk sekolah negeri, tapi masih satu kota dengan pesantren itu. Saya masih tetap tinggal di pesantren sampai tamat SMA,” kataku.
Kami melanjutkan berbincang sambil menghabiskan sarapan. Nasi goreng di hotel ini istimewa. Tapi kopinya mengecewakan. Tamu hotel tak terlalu ramai. Inayah gelisah. Terus melirik ke saya. Bagian paling menegangkan dari pertemuan pagi ini belum lagi terlewatkan. Saya harus melamar Inayah. Tapi bagaimana memulainya? Untuk hal-hal terkait hal ini saya tak punya referensi. Pak Rinto jelas bukan orang yang tepat. Ustad Samsu? Mungkin bisa, tapi saya putuskan untuk melibatkan beliau nanti saja di urusan lain yang lebih penting.
”Mas Abdur nanti mau ikut lihat rumah?” tanya Inayah. Dia pasti melihat saya bingung untuk masuk ke pembicaraan soal krusial ”melamar” itu.
”Nak Abdur belum lihat rumahnya?” tanya ayah Inayah.
”Sudah, Pak,” kataku nyaris berbarengan dengan Inayah.
Aku terdiam, Inayah menyambung, ”saya cari rumahnya sama Mas Abdur, Yah,” kata Inayah.
”Itu rumah saya belikan buat Inayah,” kata ayah Inayah. ”Kamu rencananya mau terus tinggal di sini, kan? Rumah di Pekanbaru buat adikmu. Ayah sama ibu nanti numpang aja ya. Sebentar di Pekanbaru sebentar di sini. ”
Ibaratnya main bola, Inayah sudah memberi saya umpan yang bagus. Saya tinggal menendang ke arah gawang. Susah sekali ternyata. Saya mengumpulkan dan menyusun kata-kata. Hanya perlu beberapa kata, tak sampai ratusan seperti berita utama. Ayo, Abdurauf bin Muhammad Ilham, kamu bisa!
Saya lekas menyusun draf, ancang-ancang, mungkin begini kalimatnya: Pak, saya tak tahu adatnya seperti apa. Saya takut tak menghormati Bapak sebagai orang tua. Saya tak punya orang tua yang bisa saya minta untuk melamar Inayah untuk saya, maka maafkan saya karena menyampaikan ini sendiri kepada Bapak. Saya melamar Inayah untuk jadi istri saya.
Ya, rasanya itulah kalimat terbaik yang bisa saya ucapkan.