Oleh: Hasan Aspahani
RUMAH Rinto selalu begini suasananya. Rumah besar yang lengang. Tenang. Agak misterius. Dia tinggal sendiri. Anak-anaknya tinggal di luar negeri.
Ada pembantu yang bekerja pulang hari membereskan pekerjaan rumah dan merawat taman.
Saya hari itu melihatnya tidak seperti orang yang habis sakit. Atau habis menjalani operasi berat.
”Sudah sehat, Pak?” tanya saya. ”Bagaimana operasinya?”
”Biasa, sehat-sehatnya orang tua seperti saya,” katanya. ”Pak Azhari, calon mertuamu itu cerita apa saja?”
”Tak banyak, Pak. Cuma menyebut nama Pak Rinto sebagai salah satu temannya waktu dia aktif sebagai wartawan di sini,” kata saya. Dan memang cuma itu. Pak Rinto mengangguk-angguk.
”Kami lebih dari sekadar teman. Tapi benar ya dia tak cerita lebih dari itu?” tanya Pak Rinto sekali lagi.
Seolah cemas ada yang saya tahu dari ayah Inayah yang harus ia jelaskan padaku. ”Ia tak berubah ternyata.”
“Apa pun yang dia ceritakan padamu, Dur, kalau ada, saya tak akan membantahnya, tapi saya yakin kamu jujur, seperti dia, bahwa dia tak cerita apa-apa. Saya ingin kamu tahu cerita yang sebenarnya. Ini bagi kami seperti rahasia yang kami jaga,” kata Pak Rinto.
Rinto dan Azhari muda datang ke Borgam pada tahun yang sama. Di tahun-tahun awal, Azhari sempat menumpang sebentar di rumah dinas Rinto. Tak sulit bagi mereka untuk menjalin hubungan yang kemudian berkembang menjadi persahabatan.
Rinto polisi berdedikasi. Azhari wartawan yang idealis. Mereka berdua, dengan profesi masing-masing ingin memberi kontribusi pada kota pulau ini, kota yang mereka bayangkan sebagai masa depan mereka, seperti ratusan ribu pendatang lainnya.
Rinto selalu memasok Azhari dengan informasi-informasi penting yang bisa dia akses, terkait fakta-fakta dan kejadian penting. Dengan dedikasi dan peran masing-masing, keduanya merasa ikut mengarahkan Borgam agar berkembang ke arah yang benar. Ibarat seorang ibu yang melahirkan anak, mereka ingin jangan sampai kota ini lahir dengan terlalu banyak pendarahan.
“Kami sadar bahwa terlalu besar musuh yang kamu hadapi. Musuh itu maksud saya situasi, keadaan, yang terjadi karena lebih banyak orang yang menyesuaikan diri dengan hukum rimba, aturan ala mafia. Kamu faham kan? Siapa yang kuat, yang banyak modal dia bisa mengatur dan membeli peraturan dan orang-orang yang pegang kekuasaan. Itu yang kami hadapi. Azhari lebih dahulu menyerah. Ia tinggalkan kota ini, jadi dosen. Dia orang yang cerdas. Dia cocok jadi orang kampus. Kegelisahannya membuat dia selalu kembali ke sini, sebagai akademisi dan peneliti, bukan sebagai wartawan. Saya bertahan beberapa tahun sebagai polisi. Sebelum keluar,” katanya.
“Terus, selepas tak lagi dinas, apa yang Pak Rinto kerjakan?”