Nak, napasmu terengah-engah bukan karena soal matematika,
Namun di tengah permainan yang biasanya kau habiskan di sore hari bersama teman sebaya.
Betapa pengap menghirup asap yang seketika melenyapkan mimpi-mimpimu,
Membunuh dan menginjakmu bahkan sebelum kau bilang setuju.
Ibu akan membenci siaran televisi,
Dan Piala Dunia yang bersama Bapakmu dulu selalu kau nanti-nanti.
Atau suara sirine yang menggaung,
Mengantar kepulanganmu, memaksa ibu untuk berkabung.
Nak, kenapa tak kau kenakan saja sepatu itu,
Yang sudah ibu cuci untuk mengantarmu menjemput tim kebanggaanmu,
Dan untuknya kau rela korbankan nyawa,
Dibunuh sendiri oleh mimpimu yang menyala.
Ibu tinggalkan talinya di beranda yang selalu terbuka,