Sehingga jaman keemasan Indonesia tidak sepenuhnya diyakini oleh banyak orang, sebab rincian tahapan capaian yang dilakukan tidak cukup meyakinkan dan tidak pula rasional.
Sehingga beban sejarah keyakinan menjadi tambahan dari kegamangan spiritual untuk ikut menanggung beban kebodohan yang dianggap sebagai bentuk eskapisme dari realitas yang diklaim tidak mampu dijamah.
Konsep gemah ripah loh jinawi, toto tentrem, kerta raharja, sungguh dapat diraih dan dinikmati oleh segenap warga bangsa Indonesia, jika saja tata kelola negara dan pemerintah becus dilaksanakan.
Karena tata kelola negara Indonesia salah kaprah seperti yang terjadi sekarang. Toh, cukup banyak pendapat yang percaya, bila hasil bumi dan sumber alam bangsa Indonesia dapat dikelola dengan baik dan benar, maka setiap warga bangsa Indonesia -- tanpa bekerja pun -- bisa mendapatkan pembagian secara cuma-cuma tidak kurang dari Rp 20 juta setiap bulan.
Jadi, konsep Ratu Adil itu bukan omong kosong. Karena Ratu Adil itu dapat dipahami dalam konteks seperti rincian untuk menikmati hasil bumi dan sumber daya alam negeri kita yang berlimpah ruah.
Tentu saja bilangan nyata seperti itu, diperlukan pengelola negara dan pemerintahan yang bersih, beretika serta mempunyai moral yang terjaga kemuliaannya.
Tidak kemaruk, tidak tamak dan tidak rakus. Termasuk tamak pada kekuasaan yang ingin selalu memaksa dan dipaksakan seperti yang makin fulgar terjadi sekarang ini.
BACA JUGA:Whisnu Santika Bersiap Menggebrak Tomorrowland 2024 di Belgia dengan Alunan Indonesian Bounce
Begitulah, rasionalitasnya pemahaman terhadap akan tampilnya "Satrio Piningit", karena desakan kondisi dan situasi yang makin meruncing -- menegang -- lantaran aturan yang tidak karu-karuan oleh ulah rezim yang abai pada etika, moral dan akhlak mulia manusia yang sepatutnya bisa tetap dijaga.
Setidaknya, begitulah relevansi dari rumusan konsep kepemimpinan yang tertulis sejak berabad-abad silam itu; Satria Kinunjara Murwa, Kuncara, Satria Mukti Wibawa kesandung kesampar, Satria Jinumput Sumela Atur, Satria Lelana Tapa Ngrame, Satria Piningit Hamong Tuwuh, Satria Boyong Pambukaning Gapura, dan Satria Punandita Sinisihan Wahyu.
Rincian konsep kepemimpinan ala Jawa ini terkesan sudah terabaikan, menurut banyak orang, lantaran orang Jawa sendiri -- meski cukup dominan eksistensinya di negeri ini -- sudah kehilangan ruh ke-Jawa-annya yang adiluhung.
Begitulah bukti dari telaah spiritual Prabu Jaya Baya yang telah menguak tanda-tanda jaman, jauh sebelum John Naisbit dan Alvin Toffler berkicau beberapa tahun lalu.
BACA JUGA:Webinar 'Green Skilling' Gratis oleh LindungiHutan untuk Dukung UMKM dan Startup, Simak Waktunya
Dan ramalan Prabu Jaya Baya ini pun terkesan kalah populer, karena suku bangsa Nusantara -- Indonesia -- lebih mengagumi dan selalu merasa takjub dan merasa lebih hormat kepada bangsa asing.