Nelayan itu Masih Melaut

Nelayan itu Masih Melaut

Oleh: Muhammad Khambali NELAYAN itu Masih Melaut MI ARU Labok baru mengisi air di bak sewaktu mendengar keriuhan dari arah pantai. Ia keluar rumah dan melihat orang-orang sudah berkerumun. Ia bergegas menghampiri untuk segera tahu apa yang terjadi. Tampak perahu tua yang ia kenal terikat pada sebuah karang. Di belakang buritan perahu itu, teronggok kepala ikan marlin raksasa dengan todaknya yang mencuat dan sisasisa tulang telanjang. Sambil menahan air matanya yang mulai mengembun, ia lekas meninggalkan kerumunan itu, menuju ke gubuk Dullah yang tak jauh dari bibir pantai selatan pulau. Lelaki tua itu rupanya tengah tertidur, dan terlihat oleh Aru Labok kedua tangan Dullah yang membikin ia akhirnya menangis. Ia lantas keluar dengan menutup pintu. Mendorongnya begitu perlahan, sebab tak ingin membangunkan Dullah. Aru Labok pergi ke warung tempat para pemalas biasa mabuk dan bermain judi. Lalu, ia membawa segelas kopi panas dan ubi rebus ke gubuk itu, duduk di sisi Dullah yang terlelap. Aru Labok sedang membaca koran basi yang terbit tiga bulan lalu, sewaktu akhirnya lelaki tua itu terbangun. “Minumlah kopi ini. Tapi mungkin sudah tidak begitu panas.” Lelaki tua itu menerimanya, dan berkata terima kasih. “Tampaknya tidurmu pulas sekali. Kau pasti lelah dan belum sempat membersihkan luka-luka di tanganmu itu.” “Air laut akan cepat membuatnya kering,” ujar lelaki tua itu enteng, sementara Aru Labok menyorongkan ubi rebus untuknya. “Kau perlu tahu apa yang telah kutangkap semalam,” kata lelaki tua itu sambil mengupas ubinya. “Ya, aku telah melihatnya.” “Akhirnya setelah berhari-hari. Mengagumkan bukan?” “Sayang sekali, kau harusnya mengajakku.” Lelaki tua itu tersenyum tipis, sebelum menjawab, “Ya, mungkin kau harusnya tak melewatkannya. Paling tidak untuk terakhir kali.” Aru Labok ingin kembali menangis mendengarnya, tapi ia tak ingin lelaki tua itu meledeknya sebagai bocah cengeng. “Istirahatlah, pak tua. Akan kupetikkan beberapa tangkai daun jarak untuk mengobati tanganmu.” Aru Labok beranjak dari duduknya dan mengembalikan koran ke tumpukan lain di atas rak yang sudah reot ke kiri. “Tenanglah bocah, ini bukan apa-apa.” “Aku tahu. Tapi, kau perlu segera sembuh, agar kita bisa melaut bersama lagi.” “Apa kau yakin?” tanya lelaki tua itu. “Tentu saja.” “Baiklah. Tapi, sepertinya angin sedang kurang begitu bagus. Kita mungkin perlu menunggu beberapa hari.” “Kau juga perlu mengurus dulu luka-luka di tanganmu, atau kau hanya akan merepotkanku saja nanti!” Lelaki tua itu tertawa dan memperlihatkan tulang rahangnya yang nyaris menembus kulit pipinya. Aru Labok pun mengucap pamit. “Oh iya, kalau kau kembali ke sini, jangan lupa kau bawakan koran yang lebih baru,” ujar Dullah, sebelum Aru Labok menyeret pintu. Aru Labok tak menjawab, hanya mengangkat tangannya dan mengacungkan jempol. Sepanjang jalan Aru Labok mulai menangis. Ia bahkan tak peduli ketika melewati warung, dan menjadi tontonan orang-orang yang duduk di sana sambil tertawa mengejek. Saat itu Aru Labok hanya tahu bahwa ia ingin bisa kembali melaut bersama Dullah. Namun, ia tahu betul, ayahnya akan menghajarnya bila sampai itu terjadi. Setahun yang lalu, Aru Labok pertama kali diajak oleh Dullah melaut. Tentu saja, Dullah tidak lekas mengajaknya ketika Aru Labok mengutarakan keinginannya. Perlu berminggu-minggu ia menunggu Dullah pulang dari laut, membantu mengikatkan perahu ke karang, merapikan jala, dan membawakan ikan cakalang hasil tangkapannya ke tempat pelelangan, sampai akhirnya Dullah mengajaknya bicara. “Apa maumu, bocah?” “Kau tak usah memanggilku bocah. Kau harusnya dapat melihat bahwa badanku jelas lebih kekar dari tubuh rentamu itu.” “Baiklah. Apa yang membuatmu tertarik dengan laut?“ “Aru Labok, kau bisa memanggilku Aru Labok, Pak Tua.” “Ya, ya, Aru Labok. Aku akui kau tampaknya punya cukup nyali untuk berlayar, anak muda. Tapi, kau perlu tahu, samudra adalah tempat yang keras, tidak cocok untuk anak-anak muda sekarang yang lembek.” “Tentu saja aku tahu.” “Lalu, apa kau sudah meminta izin orang tuamu?” “Aku tidak perlu meminta izin.” “Baiklah, aku tidak akan bertanggung jawab jika terjadi apaapa denganmu, itu aturannya. Bila besok sore angin dan cuaca bagus untuk berlayar, datanglah dan jangan sampai terlambat, atau aku tidak akan pernah menawarimu lagi, Aru Labok.” Begitulah bagaimana Aru Labok akhirnya diajak oleh Dullah pergi melaut. Sejak hari itu, tak ada satu hari melaut pun yang tidak membikin hati Aru Labok gembira. Sementara Dullah sendiri merasa kehadiran Aru Labok memberinya keberuntungan. Selama melaut bersama Aru Labok, hasil tangkapan ikannya tidak pernah mengecewakan. Bahkan beberapa kali, mereka berhasil menangkap ikan berukuran jumbo. “Kuakui, kau bocah pembawa keberuntungan!” ujar Dullah sambil terkekeh sewaktu berhasil menangkap ikan cakalang besar. “Ayolah Pak Tua, sudah kubilang jangan memanggilku bocah. Kau pasti sekarang menyesal mengapa tak mengajakku sedari dulu.” Dullah hanya kembali terkekeh. Aru Labok pun ikut tertawa. Aru Labok akhirnya bercerita kepada Dullah mengapa ia ingin ikut melaut. Ia ingin kabur dari pertengkaranpertengkaran yang setiap hari terjadi di rumahnya. Ia tidak tahan setiap hari melihat ibunya dipukuli ayahnya. Lalu, ia mulai menyadari bahwa itu bukan hanya terjadi pada keluarganya, tetapi ia pun melihat hal serupa di rumah rumah yang lain. Ia pikir, samudra dapat membawanya melihat dunia yang lebih luas, ketimbang pulau kecil tempat tinggalnya yang penuh dengan siksaan dan kemiskinan. “Kau pasti tahu Pak Tua, pulau kita dipenuhi oleh pemabuk.” “Ya, itu terjadi sejak orangorang asing itu datang ke pulau kita, memaksa orang-orang kita berhenti melaut, untuk menanam pala dan cengkih.” “Dari mana sebenarnya orangorang asing itu?” “Aku tidak pernah tertarik dengan mereka. Kurasa negeri mereka juga miskin, sehingga mereka perlu jauh-jauh datang kemari.” “Apakah kalau kita terus berlayar jauh meninggalkan pulau ini, kita akan menjumpai pulau-pulau miskin lain?” “Entahlah. Lagi pula perahu kita terlalu kecil untuk bisa sampai ke pulau lain. Kehidupan lain. Kita butuh perahu yang lebih besar.” “Apa maksudmu kehidupan lain? Dan mengapa kau masih saja melaut, Pak Tua?” “Lihatlah ke langit malam, bocah. Selama melaut, aku kerap membayangkan bintang-bintang di sana layaknya pulau pulau yang mengapung di samudra tanpa batas ini.” “Tampaknya bintang bintang itu sangatlah jauh.” “Ya, dan mungkin, lantaran begitu jauhnya, ketika cahayanya sampai ke sini, bintang itu sendiri sudah mati.” “Maksudmu bintang bintang itu memiliki kehidupan seperti kita?” “Entahlah. Pikiranku terlalu cupet untuk mengetahuinya! Apalagi aku cuma baca koran basi setiap hari,” kata lelaki tua itu sambil mengikat jalanya. “Tapi, setiap nelayan sepertiku tahu cerita tentang bintang-bintang yang dahulu pernah ada, lalu menghilang.” Aru Labok hanya menyimak, terkagum dengan omongan lelaki tua di hadapannya itu. “Barangkali anak-anak muda sepertimu nanti yang akan menemukan jawabannya, Aru Labok.” “Entahlah, Pak Tua. Aku harus jujur padamu, ayahku tidak akan suka aku melaut bersamamu.” “Ya, aku sudah tahu. Waktu itu matamu tak bisa membohongiku.” “Lalu, kenapa kau mau mengajakku?” “Mungkin karena kau tampak pekerja keras dan tidak cengeng. Tapi, kurasa aku keliru untuk yang terakhir.” “Sial,” ujar Aru Labok, sembari menata kail dan mata pancing, lalu memutar perahunya untuk pulang. Dullah hanya tersenyum. “Pak Tua, aku tidak bermaksud menyinggungmu, apa kau pernah berkeluarga?” Dullah diam. Sejurus kemudian ia menjawab, ”Ya, aku pernah menikah dan punya seorang anak lelaki. Seharusnya saat ini dia seusiamu.” Aru Labok tak hendak bertanya lebih lanjut, tetapi Dullah melanjutkan kalimatnya, ”Ia demam dan meninggal sewaktu aku sedang melaut berhari-hari. Ibunya lantas begitu membenciku dan tidak pernah kembali.” Itulah percakapan terakhir Aru Labok bersama Dullah di atas laut. Dua hari kemudian, ia dihajar oleh ayahnya lantaran seseorang memberitahu kepergiannya bersama Dullah. “Kupikir kau sekadar keluyuran dengan teman-teman berandalmu itu. Ternyata selama ini kau pergi melaut,” ujar ayah Aru Labok sambil melecutinya dengan tulang daun kelapa. “Mau jadi apa kau anak setan? Nelayan? Kau mau seperti si Dullah menyedihkan yang ditinggal mati anak dan istrinya yang gila itu, heh?” Ia lalu memukuli Aru Labok habis-habisan. “Biar kapok! Bikin malu orang tua saja.” Aru Labok sebenarnya bisa tahan dengan perkataan maupun pukulan-pukulan itu. Tetapi ia tidak tahan ketika melihat ibunya menangis sambil memohon-mohon kepada ayahnya untuk berhenti memukuli Aru Labok, yang justru membuat ibunya mendapatkan perlakuan serupa. Aru Labok teringat itu selagi kembali ke rumah Dullah. Ia telah memetikkan beberapa tangkai daun jarak untuk mengobati lelaki tua tersebut. Sambil berjalan, ia membayangkan tentang perahu besar yang pernah diceritakan Dullah. Di belakangnya, lautan menghampar, ombak tak henti menghajar karang dan perahuperahu tua yang sudah lama karam. (M-2)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: