Elizabeth Kurniawan
Oleh: Dahlan Iskan DIA, sekarang ini, lagi hamil 6 bulan. Mestinya. Bulan Juli depan akan melahirkan anak pertama. Mestinya. Kehamilan itulah alasan utamanya. Sidang pengadilan pun ditunda hingga Agustus depan. Dia terlibat 11 perkara penipuan kelas dewa. Dia bisa dihukum berkali-kali dengan total hukuman 20 tahun penjara. Nama wanita hamil itu: Elizabeth Holmes. Umur: 35 tahun. Kekayaannya: Rp 50 triliun (2012). Nama suami yang sekarang: William Evans. Umur: 25 tahun. Kekayaannya: cucu konglomerat jaringan Evans Hotel di Amerika. Elizabeth dijuluki wanita muda paling sukses di Amerika lewat usahanyi sendiri: melahirkan unicorn. Dia masih berstatus mahasiswa chemicals engineering ketika bikin start-up teknologi kesehatan itu. Yakni di Universitas papan atas Amerika tidak jauh dari San Francisco: Stanford University. Elizabeth memilih drop out. Dia konsentrasi penuh di start-up-nyi itu: Theranos. Nah, dengan menyebut nama itu Anda pun tahu skandal besar itu. Sampai tiga film dibuat berdasar cerita skandal tersebut. ”Prestasi” itu mengalahkan film Sour Grapes yang dibuat berdasar skandal penipuan yang dilakukan pemuda Indonesia di Amerika: Rudy Kurniawan. Minggu lalu, setelah keluar dari penjara, Rudy dideportasi ke Indonesia. Kini Rudy tinggal di Jakarta. Mestinya. Rudy Kurniawan telah menjadi orang Indonesia paling terkenal di Amerika. Terutama setelah penipuan besar-besaran yang dilakukannya terbongkar: menjual red wine palsu. Rudy memalsu merek-meerk anggur terkenal dengan nilai tak terpermanai. Termasuk memalsu tahun pembuatannya. Yang kian kuno tahunnya kian mahal harganya. Satu botol wine bisa berharga puluhan juta. Wine-wine langka bisa mencapai harga ratusan juta –rupiah per botol. Itu tahun 2016. Hampir bersamaan dengan keruntuhan Elizabeth. Sejak SMA, Elizabeth sudah menonjol. Ia menyukai program komputer. Sudah pula bakat bisnis: menjual program komputer ke sekolah-sekolah di Tiongkok. Elizabeth juga belajar bahasa Mandarin. Keinginannyi menjadi orang kaya tak tertahankan. Elizabeth cantik sekali –sebagai remaja putri. Kecantikannyi bisa dibilang 5 i. Matanyi sangat hidup. Lehernyi sangat jenjang. Bibirnyi ranum seperti bibir Sunyahni. Wajahnyi cendekia. Saat kelas 3 SMA, Elizabeth bertemu laki-laki berumur 38 tahun. Beda umur, jauh. Beda warna kulit, jauh. Beda budaya, jauh. Nama laki-laki itu: Ramesh Balwani. Orang Pakistan berdarah India. Ia diajak orang tuanya pindah ke India, lalu ke Amerika Serikat. Balwani kuliah komputer di Stanford University lalu mengambil MBA di University of California Berkeley, tidak jauh dari San Francisco. Balwani sudah punya istri –beda bangsa, beda kulit, beda budaya: Keiko Fujimoto. Dia seorang seniman di California yang keturunan Jepang. Tahun itu Balwani bertemu Elizabeth. Tahun itu Balwani menceraikan Keiko. Elizabeth tidak takut laki-laki asing dari India. Dia hanya takut jarum suntik. Ketakutannyi itulah yang menjadi inspirasi untuk memulai bisnis. Sambil kuliah Elizabeth melahirkan ide ini: tes darah tanpa mengambil darah. Lahirlah Theranos –singkatan dari therapy and diagnosis. Awalnya terpikir juga untuk memberi nama start-up itu Real Time Cures. Tapi kata ”cure” dianggap terlalu umum: apanya yang dirawat. Kurang spesifik diagnose. Dasar pikirannyi: kalau tekanan darah, detak jantung, gula darah bisa dites dengan alat yang simpel mengapa tes darah tidak bisa dibuat sederhana –dan murah. Pun sekarang ini tes serapan oksigen pun sudah begitu sederhananya: hanya dari ujung jari. Dengan Theranos, setetes darah dari ujung jari cukup. Semua penyakit sudah bisa diketahui. Waktunya pun cepat: hanya 15 menit. Sakit apa pun langsung ketahuan. Biaya tes itu juga begitu murahnya: tidak sampai Rp 25.000. Bukan larisnya penjualan alat itu yang menyebabkan booming. Tapi kemampuan Elizabeth mengomunikasikannya. Dia segera berhasil menggaet investor. Mula-mula kelas ribuan dolar. Lalu jutaan dolar. Media juga banyak terpana dengan teknologi Elizabeth itu –lalu tertipu. Lembaga paten Amerika pun terpana –juga sekaligus tertipu. Elizabeth memperoleh puluhan paten terkait dengan teknologi tes darah itu. Pun nama-nama besar. Sampai-sampai mantan menteri luar negeri George Shultz mau masuk dewan direksinya. Kian banyak investor menyuntikkan dana ke Theranos. Media-media bisnis mempahlawankannyi. Termasuk sekelas Forbes. Tapi media juga yang akhirnya membongkarnya: John Carreyrou, wartawan investasi The Wall Street Journal. Sang wartawan menulis kebohongan teknologi itu: hasil diagnosis alat itu tidak akurat. Media pula yang membongkar adanya hubungan istimewa antara Elizabeth dengan Balwani. Yang semula tidak menarik perhatian siapa pun. Siapa menyangka mereka punya cinta. Begitu banyak perbedaan di banyak hal –terutama umur yang beda 19 tahun. Tentu media tidak menyalahkan hubungan khusus itu. Yang disalahkan adalah mengapa tidak dibuka kepada investor. Itu dianggap menyalahi prinsip keterbukaan informasi kepada sumber dana publik. Baru belakangan hubungan itu diresmikan: menjadi suami istri. Yakni ketika akhirnya Balwani resmi menjadi direktur operasi Theranos. Praktis Balwanilah yang sebenarnya menjalankan Theranos. Puncak kejayaan Theranos antara 2009-2013. Hampir satu era dengan kejayaan Rudy Kurniawan. Anak Jakarta itu sebenarnya ke Amerika untuk kuliah. Visanya visa belajar. Kurniawan berangkat dari Jakarta tahun 1998 –bersamaan dengan banyak orang Tionghoa meninggalkan Indonesia. Tahun itu memang tahun menakutkan bagi warga Tionghoa Indonesia –yang dikenal dengan kerusuhan Mei 1998. Kurniawan kuliah di California State University Northridge, dekat Los Angeles. Ketika visanya habis, Kurniawan berusaha menjadi warga negara Amerika. Ia memilih cara minta suaka politik –seperti yang sangat banyak dilakukan warga Tionghoa Indonesia di Amerika saat itu. Kerusuhan rasial Mei 1998 menjadi alasannya. Kurniawan tidak berhasil. Permohonan suaka politik itu ditolak. Pengadilan bahkan memutuskan agar Kurniawan mendeportasikan diri secara sukarela –agar tidak terkena hukum di sana. Ia diberi batas waktu: harus kembali ke Indonesia paling lambat akhir 2003. Kurniawan memilih tetap di Amerika –hidup secara ilegal. Soal ekonomi tidak masalah baginya. Ia keluarga kaya. Apalagi paman-pamannya juga dikenal sangat kaya: Hendra Rahardja dan Edy Tansil. Mereka punya bank. Saya sudah lupa bank apa yang pernah mereka punya. Sebagai pendatang ilegal Kurniawan memilih jalan yang benar di Amerika: jangan bekerja pada orang lain. Harus bekerja sendirian. Menghasilkan uang sendiri. Ia juga benar ketika akhirnya memilih menjalankan teori bisnis ini: menjadikan hobi dan kesenangan sebagai bisnis utama. Kurniawan punya kesenangan minum anggur merah. Red wine. Ia tahu dunia itu. Lebih dari sekadar tahu. Pun lika-likunya. Ia harus menjadi orang terkemuka di bidang itu. Dan dia tahu caranya. Meski harus lewat cara yang mahal. Kurniawan pun terjun ke dunia pelelangan wine. Ia ikut lelang: sebagai pembeli wine. Di setiap lelang wine yang mahal-mahal Kurniawan ada di situ. Ia menjadi cepat terkenal. Ia sering mengalahkan peserta lelang dari mana pun. Dalam satu tahun, Kurniawan bisa membeli anggur merah sampai Rp 14 miliar. Ia pun sering diwawancarai pers. Anggur-anggur itu, katanya pada media di sana, hanya untuk disimpan. Untuk koleksi. Sebagai hobi. Toh harganya akan terus naik. Maka Kurniawan pun segera terkenal sebagai kolektor wine. Termasuk kolektor wine vintage –yang sudah disimpan lebih dari 20 tahun. Setelah namanya terkenal sebagai kolektor kelas berat –di lingkungan masyarakat wine– Kurniawan pun punya reputasi hebat. Maka ketika ia mulai menjual koleksi wine-nya, orang pun percaya. Termasuk percaya pada kualitas wine yang dijualnya. Kurniawan segera naik kelas. Ia menjadi pelelang tepercaya wine. Pernah dalam satu lelang yang ia adakan, Kurniawan mendapat penawaran sampai sekitar Rp 500 miliar. Apalagi ketika Kurniawan mengadakan lelang wine merek Château Lafleur bikinan tahun 1947. Itu wine bikinan Prancis. Termasuk yang paling terkenal di dunia. Sampai saya ingin bisa merasakannya –pun bila hanya untuk di ujung lidah. Wine merek itu dibuat di pabriknya yang di pinggir sungai Bordeaux. Bahan bakunya berupa anggur dari perkebunan anggur Pomerol –yang terbaik di seluruh Prancis. Sayang waktu dulu saya ke Bordeaux belum tahu soal ini. Saya sama sekali tidak tertarik untuk sekadar duduk-duduk sebentar di pinggir sungai itu. Menyesal. Kini kian banyak orang mampu membeli anggur merah merek itu. Sudah diproduksi ”kelas duanya”. Keberanian Kurniawan melelang Chateau Lafleur tentu menarik perhatian luas. Apalagi tahunnya langka: 1949. Tapi itu pula yang mulai mencurigakan. Akhirnya Kurniawan kena batunya. Ia terlalu rakus uang. Ia terlalu banyak menjual Chateau Lafleur. Sampai-sampai pabrik wine itu sendiri heran. Kok yang dijual Kurniawan lebih banyak dari angka produksi di tahun itu. Pabrik pun akhirnya memastikan: Chateau Lafleur 1949 yang dijual Kurniawan melebihi catatan jumlah limited edition produksi pabrik itu sendiri. Jadilah perkara kriminal. Digerebek. Ketahuan: Chateau Lafleur 1949 itu bikinan Kurniawan sendiri. Ia membuat itu bersamaan dengan merek-merek terkenal lainnya –di tempat tinggalnya di California. Yang juga hebat adalah: ia mampu membuat label yang persis aslinya. Termasuk kesan kunonya. Kurniawan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara tapi hanya menjalaninya 5 tahun. Minggu lalu ia dideportasi ke Jakarta. Hari-hari ini ia sudah bisa hidup tenang di Jakarta. Elizabeth kini juga happy-happy bersama suaminya yang jauh lebih muda itu: William Evans. Sambil menunggu kelahiran anak pertama mereka. Medsos pun sering mengunggah foto-foto mesra antara Elizabeth dengan Evanz –yang diambil dari Instagram mereka sendiri. Dari postingan itu terlihat seperti tidak ada beban bahwa Elizabeth harus dihadapkan ke meja hijau setelah melahirkan nanti. Elizabeth memang sudah menyatakan dirinya tidak bersalah –secara hukum. Dia akan melakukan perlawanan di pengadilan. Balwani –suami pertama Elizabeth yang jauh lebih tua itu– juga ikut menjadi tersangka. Tapi juga sudah menyatakan tidak bersalah. Artinya: mantan suami istri ini akan melakukan perlawanan di pengadilan. Perkaranya hampir sama tapi pengadilan dan waktu sidangnya berbeda. Elizabeth dan Kurniawan telah mencatatkan diri pernah menjadi orang hebat di sisi lain kehidupan. Kurniawan lebih terkenal dari paman-pamannya –di Amerika. Elizabeth lebih terkenal dari bapaknya sendiri: salah satu pimpinan puncak Enron –sumber skandal akuntansi terbesar di Amerika. Si Cantik Elizabeth kini, oleh majalah Fortune, dinobatkan sebagai wanita paling buruk di dunia. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: