JAKARTA – Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu yang saat ini diharmonisasi di Badan Legislasi diangap hanya berfokus di Pilkada Serentak. Padahal, masih banyak isu lainyang tidak kalah penting. Mulai dari ambang batas hingga penggunaan teknologi dalam pesta demokrasi.
Soal Pilkada Serentak, lembaga penyelenggara pemilu telah mengatakan keberatan jika perhelatan dibarengi dengan Pilpres dan Pileg. Kemarin (5/2), Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengusulkan gelaran pilkada serentak pada 2026.
Selanjutnya, kepala daerah yang habis masa jabatannya, akan ada perpanjangan. Hal ini berlaku kepada seluruh kepala daerah yang habis masa jabatan sebelum 2026.
Wacana ini mencuat menanggapi penataan ulang pemilu serentak yang ada revisi Undang-undang Pemilu. Plt Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengusulkan, pemilu serentak dibagi menjadi dua tahap, yaitu pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah.
Pemilu serentak nasional yang meliputi pilpres, pemilu DPR, dan pemilu DPD digelar 2024. Sementara pemilu serentak daerah yang meliputi pilkada dan pemilu DPRD dihelat 2026.
Dua opsi pemilu serentak dianggap membuat penyelenggaraan lebih efisien, beban kerja penyelenggara pemilu juga tidak terlalu berat. “Desain keserentakan pemilu daerah serentak 2026 sebagai bentuk win-win solution, membuat happy dan nyaman banyak pihak,” terangnya.
Ia melanjutkan, perpanjangan masa jabatan bukan hanya berlaku bagi kepala daerah. Tetapi anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang habis masa jabatannya.
“Kepala daerah definitif dan anggota DPRD dengan perpanjangan masa jabatan sampai dengan 2026, serta tidak perlu menyediakan penjabat atau Plt. kepala daerah untuk durasi waktu yang panjang,” imbuh Hasyim.
Sementara itu, Sekretaris fraksi NasDem DPR RI Saan Mustopa menjelaskan, jika perhatian khalayak hanya tersandera dengan gelaran Pilkada. Padahal, banyak pekerjaan yang harus dituntaskan dan lebih penting selain jadwal pelaksanaan Pilkada Serentak.
Alasannya, keserentakan Pilkada hanya salah satu isu krusial yang sedang dibahas, bersamaan dengan sistem pemilu, ambang batas parlemen, ambang batas presiden, distrik magnitude, konversi suara.
Ia melanjutkan, masih banyak hal penting yang harus diperbaiki. Pengadilan khusus pemilu hingga inovasi dan penerapan teknologi dalam pemilu.
“Ada juga konsen di kami terkait penguatan politik afirmatif bagi perempuan. Dari pemilu ke pemilu juga harus terus mengalami penguatan dari sekadar keterwakilan 30 persen, kita juga harus atur penempatan nomor urut, dan sebagainya,” paparnya.
Mantan Direktur Eksukuttif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini ikut angkat suara. Ia setuju dengan pernyataan Saan yang sebagian besar hanya fokus dengan keserentakkan Pilkada.
Menurutnya, keterwakilan perempuan cenderung terpinggirkan. Aspek dinamika politik praktis yang berkaitan dengan partai politik secara langsung dan elite itu selalu lebih mendominasi perhatian publik.
Titi melanjutkan, banyak hal yang harus dibahas. “Kalau bisa dibilang sisa-sisa lah ya. Dibandingkan pembahasan politik yang sifatnya langsung berkaitan dengan elite-elite politik kita,” katanya.
Terpisah, Anggota Komisi II DPR RI Sodik Mudjahid mengatakan, jika Pembahasan revisi UU Pemilu setiap lima tahun dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas demokrasi. Selain itu, ada juga kesan jangka pendek dalam memutuskan aturan yang dalam UU Pemilu.
Menurutnya, UU Pemilu yang saat ini berlaku masih bisa digunakan pada pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang. Menurutnya, ketimbang membahas lebih lanjut, perbaikan justru dinilai perlu.
“Perbaikan tersebut seperti data pemilih, kinerja KPU, Bawaslu, DKPP, pencegahan politik uang, penanganan sengketa, dan netralitas ASN,” katanya. Ia juga menegaskan, jika fraksi Partai Gerindra dengan tegas menolak pembahasan revisi UU Pemilu. (khf/fin)