Oleh: Alfa Anisa
INI masih cerita tentang Mbah Muh, lelaki tua yang membersihkan piring-piring kotor sebagai salah satu cara menghapus dosa-dosa di masa lalu. Ketika pesantren mengadakan acara, Mbah Muh selalu diminta datang untuk membantu mencuci piring-piring kotor.
Memakai sepatu bot, Mbah Muh selalu sigap dalam bekerja. Membuang sisa-sia nasi dan lauk ke dalam baskom, merendam piring-piring kotor, lalu menyiapkan sabun. Bak besar berisi penuh air sebagai tempat bilasan terakhir.
"Mbah Muh, monggo diminum dulu tehnya," kataku menghidangkan segelas teh dan kerupuk dalam stoples di atas meja kecil, dekat tempat cuci piring.
Mbah Muh yang masih fokus membilas piring sontak menatapku kaget. "Lah, kok ya repot-repot, to, Ndhuk. Makasih, ya," jawabnya, tersenyum.
Aku balas mengangguk, lalu beranjak pergi. Kulihat dari sudut dapur pondok kerumun mbak-mbak santri saling menyeka air mata dengan punggung tangan.
Ada juga yang saling berpelukan meminta dikuatkan. Saat kuamati lebih teliti, tatapan mereka ke arah Mbah Muh yang sibuk mencuci piring.
Tadi aku sempat mengintip tangan Mbah Muh sedikit pucat karena terlalu lama terendam air. Jemarinya yang telah keriput jadi tampak layu.
Sejak acara 40 hari wafatnya Mbah Yai, Mbah Muh telah bekerja keras menunaikan tugasnya mencuci piring. Di sela-sela bekerja, beliau selalu menyempatkan sejenak membaca tahlil di makam Mbah Yai.
Yang membuat kami mengelus dada takjub, setiap azan shalat berkumandang, beliau selalu bergegas pulang, meninggalkan semua pekerjaannya. Konon katanya, Mbah Muh tak pernah absen menjadi muazin di mushalanya, sebagai salah satu cara merawat sembahyang di awal waktu.
Malam ini tugas Mbah Muh telah usai. Piring-piring kotor dan beragam peralatan di dapur telah dibersihkannya, berjajar rapi di paving terbuka dekat tempat cuci piring. Esok hari kami tak akan lagi melihatnya mencuci piring. Beliau akan kembali beraktivitas seperti semula, menjaga mushala dan merawat sepetak sawahnya.
Pada malam yang terakhir Mbah Muh bekerja, Mbak Di diberi amanat Ibu Nyai untuk memberikan upah mencuci piring dan berkat kepada Mbah Muh.
"Mbah Muh, ngapunten. Ini ada titipan dari Ibu Nyai buat Mbah Muh. Semoga bisa diterima," kata Mbak Di penuh kelembutan. Beberapa jam sebelumnya dia telah belajar merangkai kata-kata untuk melakukan hal ini.
Mbak Di menyerahkan satu kantong keresek hitam yang berisi makanan dan amplop putih kepada Mbah Muh. Aku dan teman-teman yang lain mengintip dari jauh, duduk berkerumun di bawah jendela kantor, menguping pembicaraan.
Ada yang bilang Mbah Muh tak mau dibayar untuk jasanya mencuci piring. Jika ia dipaksa menerima, uang itu akan dimasukkan ke kotak amal mushala atau diberikan ke anak-anak yatim.
Lusi yang duduk di sebelahku terdengar terisak pelan. Kami berdebar tak sabar menunggu reaksi Mbah Muh. "Jika Mbah Muh tak mau menerima, terus setiap hari makan apa?" tanya Lusi dengan suara gemetar. Aku juga menyimpan pertanyaan yang sama seperti Lusi.
"Mboten usah dikasih berkat. Nanti enggak ada yang makan, loh," tolak Mbah Muh halus saat tangan Mbak Di menyerahkan kantong keresek hitam, menunggu diterima.
Raut wajah Mbak Di sontak linglung. Dia sudah diberi amanah Ibu Nyai, jadi harus dilaksanakan, tapi ternyata Mbah Muh menolak pemberian.
Mbak Di takut amarah Ibu Nyai jatuh kepadanya, yang bisa membuat berkah seorang guru berkurang. Dengan raut wajah panik, Mbak Di menyerahkan amplop putih yang berisi uang kepada Mbah Muh, berharap segera diterima dan kewajibannya akan segera usai.
"Emm, ngapunten, Mbah Muh. Saya sudah diamanahi Ibu Nyai. Mohon diterima, nggih," pinta Mbak Di dengan sedikit terbata-bata.
"Lah, apalagi ini. Enggak usah, Ndhuk. Saya melakukan ini semua untuk kebaikan dan ketulusan Mbah Yai menuntun Mbah Muh mendapatkan jalan yang lebih baik."
Sorot mata Mbah Muh seperti menerawang jauh. Masa lalu. Terdengar suaranya juga sedikit bergetar, barangkali teringat kebaikan Mbah Yai kepadanya.
"Niki mawon, Mbah, tolong diterima," ujar Mbak Di, masih kukuh.
"Mbah Muh enggak bisa menerima, maaf ya, Ndhuk. He he. Maaf, mbah mau pulang dulu," jawabnya sambil melepas sepatu bot dan menggantinya dengan sandal jepit, lalu beranjak pergi.
"Loh, Mbah!" Mbak Di mengejar langkah Mbah Muh yang beranjak pergi dengan menenteng sepatu bot.
Tiba-tiba Mbah Muh berhenti sebentar, menatap Mbak Di yang mengikutinya dari belakang. Lalu, kulihat tatapan Mbah Muh tertuju ke arah makam yang terletak di belakang masjid. Makam Mbah Yai.
"Ehm, gini saja, Ndhuk. Daripada kamu bingung karena merasa telah diberi amanah Ibu Nyai. Akadnya begini saja, anggap uangnya sudah saya terima. Tapi, Mbah Muh titip uang itu tolong berikan kepada Ibu Nyai buat pembangunan makam Mbah Yai. Biar bisa buat ziarah santri-santri dan masyarakat sekitar," ucap Mbah Muh tersenyum tulus.
"Eh, inggih Mbah. Ya sudah, tak pulang dulu. Makasih, ya, Ndhuk. Assalamualaikum," pamit Mbah Muh berlalu pergi.
"Waalaikumsalam," jawab Mbak Di masih terpaku menatap kepergian Mbah Muh.
Kami yang sedari tadi menguping pembicaraan seperti menahan napas, lalu menatap langkah Mbah Muh yang bergerak menjauh. Tubuhnya sedikit bungkuk ke depan, terlihat bergegas pergi keluar gerbang.
Beban berat selama ini seperti dipikul di pundaknya yang semakin terlihat ringkih. Setelah sosok Mbah Muh hilang dari pandangan, kami saling bertatapan. Diam.
Mbak Di masuk ke kantor pondok dengan wajah bingung. Antara sedih, kaget, dan bingung bercampur jadi satu.
"Mbah Muh enggak mau menerima uangnya," curhat Mbak Di, sambil duduk bersandar di dinding.
"Lah jelas. Itu sudah nazarnya Mbah Muh. Jadi, enggak mungkin mau menerima," celetuk Mbak Atul yang tiba-tiba datang dan ikut duduk berkerumun di kantor.
Mbak Atul adalah santri senior. Hampir sepuluh tahun dia nyantri sekaligus mengabdi di pesantren ini.
Orang-orang yang tinggal di sekitar pondok pesantren pun telah dianggap seperti tetangganya sendiri. Kami menatap Mbak Atul, menunggu ceritanya. Sadar dirinya diperhatikan, Mbak Atul menghela napas panjang, lalu memulai cerita.
Dulu Mbah Muh adalah preman, lalu merantau ke Kalimantan bersama keluarganya. Berharap ada pekerjaan, tapi ternyata tak ada yang bisa dikerjakannya karena tak memiliki keterampilan apa pun. Akhirnya beliau memilih pulang ke Jawa, tapi keluarganya menetap di Kalimantan.
Di Jawa ternyata masih sama, beliau kembali menjadi preman. "Beneran jadi preman?" Lusi kaget dengan cerita Mbak Atul.
"Iya, cerita Mak Ni yang tinggal dekat mushala Mbah Muh begitu," jawab Mbak Atul sambil menarik napas panjang.
Saat itu Mbah Yai sering jalan-jalan ke terminal, berbincang banyak hal dengan para preman dan orang-orang di sana. Saling menyapa dan berbasa-basi.
Konon katanya semua preman di terminal sungkan dengan Mbah Yai, termasuk Mbah Muh. Dan, saat itu Mbah Muh seolah menemukan jalan hidayah lewat Mbah Yai. Begitulah, bertobat adalah pilihan.
"Nazarnya apa?" tanyaku menyela, tak sabar dengan cerita Mbak Atul.
"Sebentar, to. Tak lanjutin dulu."
Setelah tobat dan mencari pekerjaan yang lebih baik, Mbah Muh kembali ke Kalimantan. Ternyata kesetiaan istri tak lagi berpihak kepadanya. Telah memiliki suami lagi tanpa pernah bertanya atau meminta pendapat kepadanya karena memang puluhan tahun Mbah Muh tak memberi kabar dan lalai dari tanggung jawab memberi nafkah lahir batin kepada keluarganya. Akhirnya Mbah Muh kembali lagi ke Jawa.
"Nazarnya?" tanya Mbak Di penasaran.
"Nazar Mbah Muh sederhana. Membersihkan piring-piring kotor sebagai salah satu cara membersihkan dosa-dosa di masa lalu. Kotoran yang menempel seperti dosa-dosa yang melekat di hatinya, yaitu piring. Mbah Muh bernazar tak mau menerima upah hasil mencuci piring. Jika dipaksa maka dia akan memberikannya kepada anak-anak yatim."
"Subhanallah," sahut kami serempak.
Dan kalian tahu, pagi tadi aku lihat di jalan raya depan makam, Mbah Muh begitu takzim kepada Mbah Yai.
"Ha?"
"Coba besok pagi kalian lihat saja sendiri."
Jadwal piketku pagi ini adalah menyapu paving dekat makam Mbah Yai. Saat kutengok ke arah jalan raya, kulihat Mbah Muh naik sepeda dari kejauhan. Menyapu kuhentikan sebentar, mengintip Mbah Muh dari balik celah pagar.
Teringat cerita Mbak Atul ke marin ma lam, aku ingin membuktikan kebenarannya. "Loh!" pekikku lirih, terkejut sambil menutup mulut, khawatir terlalu kencang yang membuat orang-orang curiga.
Kulihat Mbah Muh tiba-tiba turun dari sepeda tepat di jalan depan makam, lalu menuntunnya pelan. Sesekali menatap makam Mbah Yai dari balik pagar dengan binar mata sayu. Sedih.
"Benar kata Mbak Atul. Mbah Muh takzim sekali kepada Mbah Yai," kata Lusi yang tiba-tiba sudah berdiri di dekatku, sama-sama saling menatap kepergian Mbah Muh.
Sepeda kembali dinaiki setelah berada di batas ujung makam, sekitar 20 meter, tepat di garis batas rumah tetangga. Aku mengelus dada, seperti tamparan keras kepadaku sebagai santri.
"Masya Allah!"
Aku segera duduk karena teringat masih berdiri di dekat makam Mbah Yai. Mbah Muh saja yang berada lebih jauh dari makam Mbah Yai segera turun dari sepeda dan menuntunnya, sedangkan aku malah berdiri.
"Ngapunten, Mbah Yai."(**)
TENTANG PENULIS
ALFA ANISA, lahir di Blitar, 28 Maret. Mencintai puisi, kereta api, dan sunyi. Alumnus Ilmu Komunikasi Universitas Islam Balitar, Blitar, dan santri di Pondok Pesantren Mabhajatul 'Ubbad. Sehari-hari berkegiatan di Komunitas Penulis Blitar. Beberapa karyanya dimuat di media massa dan antologi bersama. Surat untuk Luka adalah antologi puisi tunggalnya.