USIA 20-an tahun adalah api yang membara. Membakar semua ranting ketidakadilan dan penindasan. Membasmi semua kemunafikan, kezoliman dan penjajahan. Membakar semuanya. Bila perlu sampai ke akar-akarnya.
Di usia 24 tahun itu pula, api bergelora di dada seorang wartawan muda. Di surat kabar “De Express” edisi 13 Juli 1913 dia membuat tulisan berjudul yaitu Als Ik Eens Nederlander Was (seandainya aku seorang Belanda):
Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya.
Wartawan itu adalah Surjadi Suryaningrat. Dia bukan pemuda biasa. Di depan namanya ada gelar Raden Mas. Menandakan dia lahir dari kelurga kraton. Ayahnya Pangeran Suryaningrat, putra sulung Sri Paku Alam III.
Gelar kebangsawanan itu tidak memberi arti apa-apa bagi Surjadi. Hatinya gelisah melihat rakyat terjajah. Pintu sekolah Belanda tertutup bagi pribumi. Hanya orang-orang tertentu yang bisa sekolah. Salah satunya Suryadi sendiri. Dalam ruang kelas belajar, dia melihat ketimpangan. Sekolah Belanda bukan untuk mencerdaskan rakyat. Itu sekolah penjajah. Untuk memberi keuntungan bagi penjajah.
Dia semakin gelisah. Otaknya yang cerdas mengantarkannya mendapat beasiswa di STOVIA. Sekolah kedokteran bergengsi zaman kolonial. Tapi tidak tamat karena sakit.
Selain wartawan, Surjadi adalah aktivis pergerakan. Setahun sebelumnya, usia 23 tahun, Surjadi bersama dr. Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo mendirikan partai yang dikenal Indische Partij pada 25 Desember 1912. Inilah Partai Politik pertama di Indonesia yang berhaluan nasionalis dengan tujuan utama INDONESIA MERDEKA. Dalam sejarah mereka dikenal Tiga Serangkai.
Tapi dia menemukan kebahagiaan menjadi wartawan. Kegiatannya menulis dan menulis. Itu dilakoninya sampai zaman pendudukan Jepang. Surjadi menulis di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Tulisannya berserakan di surat-surat kabar tersebut.
Diantara sekian banyak tulisannya, tulisan berjudul Seandainya Aku Seorang Belanda menjadi bencana membawa berkah. Gara-gara tulisan itu, dia dijatuhi hukuman oleh Belanda; diasingkan ke daerah terpencil. Bangka. Tulisannya yang lain berjudul Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga) juga membuat Belanda terhenyak.
Pemilik surat kabar De Express Douwes Dekker dan Tjipto Mangukusumo juga mendapat hukuman yang sama karena ikut menerbitkan tulisan yang bernada membela Surjadi Suryaningrat. Douwes Dekker diasingkan ke Kupang. Cipto Mangunkusumo ke Pulau Banda.
Tapi api tak mengenal rasa takut. Mereka protes. Kalau mau diasingkan, mereka minta diasingkan ke Belanda. Nun jauh di sana. Permintaan dikabulkan. Itulah titik balik Surjadi. Selama diasingkan di Belanda (1913-1919), dia melalap habis semua bacaan. Fokusnya pada pendidikan. Dia melihat pendidikan masalah utama bangsanya sampai dijajah ratusan tahun.
Di situ dia berkenalan dengan pemikiran tokoh-tokoh pendidikan Eropa. Surjadi aktif di Indische Veeenging (organisasi pelajar asal Indonesia). Di Belanda dia mulai memperkenalkan istilah Indonesia dengan mendirikan Indonesisch Pers Bureau (kantor berita Indonesia). Surjadi bukan orang pertama memunculkan istilah Indonesia. Jauh sebelum itu, 1850, penggunaan istilah Indonesia sudah dimunculkan Georga Windsor Earl asal Inggris dan James Richardson Loga asal Scotlandia.
Surjadi berkenalan dengan gagasan pendidikan Friedrich Wilhelm August (1782-1852) tentang permainan sebagai media pembelajaran dan gagasan Maria Montessori (1870-1952) yaitu memberi kemerdekaan kepada anak-anak. Tokoh pendidikan lain yang mempengaruhinya adalah Froebel.
Pergulatan pikiran bersama tokoh-tokoh pendidikan Eropa itu menginspirasi Surjadi. Satu tekad tertanam. Bangsaku harus merdeka. Rakyatku harus berpendidikan. Selama pengasingan itu, Surjadi merintis cita-cita untuk memajukan pendidikan di tanah air.