JAKARTA – Pengamat Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedillah Badrun menyuarakan saat ini keinginan publik kerap kali tidak sejalan dengan keputusan pemerintah.
“Apabila rakyat berharap A, elit politik malah melakukan Z. Ini aneh,” ujar Ubedillah Badrun, dikutip, Sabtu (5/6).
Dia menilai seharusnya ketika terjadi sirkulasi kekuasaan maka terjadi perbaikan dalam sistem ketatanegaraan dan pengelolaan pemerintahan, namun yang terjadi malah sebaliknya.
Rezim yang sekarang justru meneruskan praktik-praktik oligarki dan dictatorship.
“Saya berhadap ketika rezim mengalami suatu sirkulasi yang luar biasa berganti dari rezim dinasti, muncul sosok baru dan memberikan harapan baru. Tetapi justru kita melihat praktik dinasti ditiru oleh rezim saat ini,” ungkapnya.
Ubedillah mencontohkan pada 2019 ketika Pemerintah ingin melakukan revisi UU KPK, datang penolakan yang besar dari masyarakat dan mahasiswa, namun pemerintah bergeming.
Menurutnya, ini menjadi contoh nyata tidak satu frekuensinya antara kehendak publik dan pemerintah.
“Kita bisa melihat ketika 2019 teman-teman ICW, LBH bahkan ada ratusan ribu mahasiswa berdemonstrasi. Akhirnya revisi Undang-Undang KPK terjadi,” ujar dia.
Ubedillah menambahkan Tes Wawasan Kebangsan (TWK) yang menjadi polemik saat ini juga menjadi bukti bahwa elit tidak mendengarkan suara-suara masyarakat.
“Yang terakhir Tes Wawasan Kebangsaan. Sudah 77 guru besar menyampaikan jangan gunakan TWK itu, tapi nggak didengar,” terang Ubedillah.
Menurut Ubedillah terjadinya ketidakselarasan antara kehendak masyarakat dengan kebijakan pemerintah adalah karena perilaku elit politik yang pragmatis.
“Problemnya ada di elit politik, partai politik di parlemen hanya jadi stempel kekuasaan saja,” ucap dia.
Ia menilai polemik TWK KPK ini menjadi sebuah permasalahan besar karena pada akhirnya aspirasi publik juga tidak didengar oleh pemerintah.
“Ada problem politik yang sangat serius disitu dalam melihat Tes Wawasan Kebangsaan ini yang aspirasinya juga tidak didengar,” pungkasnya. (khf/fin)