Oleh : Elfahmi Lubis
“DEKLARASI bersandar pada premis dasar: bahwa ketika hak- hak pembela HAM dilanggar, semua hak-hak kita diletakkan dalam bahaya dan kita semua dibuat kurang aman.” -Kofi Annan, Sekjen PBB, September 14, 1998 Konferensi NGO Se-Dunia.
Kutipan pernyataan Mantan Sekjen PBB Kofi Annan itu sengaja saya tempatkan pada bagian pembuka tulisan ini untuk mengingatkan kita semua tentang pentingnya perlindungan pembela HAM. Soalnya, maju mundurnya penegakan, pemenuhan dan pemajuan HAM itu sangat tergantung bagaimana dengan cara negara memperlakukan para pembela HAM, baik dalam kerangka proteksi hukum maupun jaminan atas kesalamatan jiwa dan raga mereka.
HAM sebagai hak paling mendasar yang dimiliki setiap orang sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Karena sifat hak itu mendasar dan universal dan sekaligus harus diperjuangkan itu menuntut siapa pun termasuk negara, tidak boleh merampas dan mengurangi hak-hak tersebut. Oleh sebab itu menjadi tugas dan kewajiban kita semua untuk memastikan bahwa hak-hak warga negara tersebut terlindungi, dan menjadi kewajiban kita semua juga untuk melakukan perlawanan terhadap siapa saja yang akan "mengamputasi" hak tersebut.
Dalam konteks melindungi hak warga negara inilah muncul relasi antara negara dengan kelompok warga negara yang menamakan dirinya pembela HAM. Relasi yang seharusnya saling menguatkan ini, dalam kenyataannya berubah menjadi relasi yang saling bertentangan dan terkadang tidak jarang menjadi konflik. Negara sebagai pihak yang seringkali melakukan pelanggaran HAM, menganggap keberadaan para pembela HAM ini sebagai musuh yang terkadang dalam banyak kasus harus disingkirkan dan bahkan tidak jarang dihilangkan secara paksa dalam bentuk extrajudicial killing atau pembunuhan di luar hukum.
Dalam kerangka hukum nasional dan internasional, peraturan mengenai perlindungan terhadap pembela HAM itu sudah cukup memadai. Yakni, mulai dari konstitusi UUD 1945, UU, Perppu, Peraturan Pemerintah dan Keppres dan berbagai konvensi internasional. Setidaknya sudah ada 19 konvensi dan protokol HAM internasional yang telah diratifikasi menjadi UU maupun Keppres.
Dalam banyak kasus pihak yang paling berpotensi untuk melakukan pelanggaran HAM itu adalah negara dalam skala large, skala medium adalah politisi (melalui ruang regulasi) dan pengusaha, dan skala short adalah masyarakat itu sendiri. Sementara pihak yang selalu menjadi korban itu adalah rakyat kecil yang tidak memiliki akses modal, kekuasaan, dan advokasi. Dalam konteks relasi seperti inilah, keberadaan pembela HAM menjadi penting dan strategis tapi sekaligus rentan terhadap tindakan kriminalisasi hukum, intimidasi, terror, penghilangan secara paksa maupun pembunuhan konvensional. Oleh karenanya diperlukan sinergi dengan banyak pihak untuk menyusun desain komprehensif dan langkah-langkah strategis bersama.
Dalam Deklarasi HAM Universal ‘’Pembela HAM adalah orang dan/atau kelompok dengan berbagai latar belakang termasuk mereka yang berasal dari korban, baik secara sukarela maupun mendapatkan upah yang melakukan kerja-kerja pemajuan dan perlindungan HAM dengan cara-cara damai.