Sudah dekat dengan perbatasan Bengkulu.
Waktu lahir namanya lain: Isnin Soleh. Ia lahir di hari Senin. Lalu sakit-sakitan. Nama itu diganti. Sang ibu suka membaca Quran. Saat menemukan kata biiznillah (artinya: dengan izin Allah) hati sang Ibu bergetar. Maka kata itu yang diputuskan untuk mengganti nama Isnin Soleh. Namanya menjadi hanya satu kata: Biiznillah.
BACA JUGA:Gunung Yamagami
"Orang tua saya suku Minang yang merantau ke Liwa," katanya.
Setamat SMA, Biiznillah kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Fatmawati, Bengkulu.
Tapi sejak di SMA ia sudah tergila-gila dengan buku filsafat. Betapa anehnya, siswa SMA di sebuah pedalaman Lampung mencintai bacaan filsafat.
"Sertifikasi dosen hanya berorientasi dokumen portofolio," kata Biiznillah.
Ini berbanding terbalik dengan tingkat publikasi ilmiah kita, yang menurut Kemendkibudristek, tertinggi di ASEAN.
"Sistem politik kita juga belum menjadikan perguruan tinggi sebagai sokoguru kehidupan bernegara berbangsa. Perguruan tinggi tidak lebih mengambil peran sebagai lembaga training kelas pekerja di masa depan," katanya.
Animo masyarakat terhadap isu-isu akademis sangat minim.
"Akhirnya pendidikan tinggi hanya dilihat sebagai satu fase jenjang karir. Tanpa melihat urgensi pencapaian intelektual sebagai bagian dari tugas kependidikannya," katanya.
Biiznillah, 43 tahun, kini dosen di almamaternya.
"Saya kawin dengan orang Bengkulu. Jadilah menetap di sini," katanya.
BACA JUGA:Good Perfect
Tesis S-2 nya berjudul Transendensi Moralitas dalam Ateisme. Itu di Islamic College For Advanced Studies (ICAS) Jakarta, program kerja sama ICAS London dan Universitas Paramadina. Kini Biiznillah menempuh S-3 dengan rencana disertasi Problem Eksistensi Jiwa dalam Khazanah Filsafat Islam.
Saya pun titip pertanyaan kepadanya: apakah khusyuk itu gejala jiwa atau gejala agama. Mengapa ada orang mudah khusyuk, sampai menangis-nangis dan mengapa ada yang sulit.