Oleh: Hasan Aspahani
”KAU pimpin rapat, ya!” kata Bang Eel kepadaku. Aku terkejut. Dan spontan menolak.
”Wah, kan baru terima SK hari ini, Bang. Paling tidak abang umumkan dululah…”
”Kau umumkan sendirilah. Malas aku nanti ribut sama Jon,” kata Bang Eel. “Aku ada rapat sama orang percetakan. Sekarang,” katanya.
Ia keluar kantor. Lalu dengan mobil kantor dia diantar ke Sagulung, tempat percetakan kami. Jaraknya lumayan jauh, seperti di sisi lain pulau ini. Itulah jarak yang tiap malam bolak-balik ditempuh oleh teman-teman pracetak, mengantar lembar film-film halaman koran, untuk dibikin pelat cetak dan kemudian masuk mesin cetak. Jarak itu pula yang ditempuh teman-teman percetakan dengan mobil boks bawa koran ke kota. Itu sebabnya, seperti kata Bang Eel, deadline adalah nabi kedua bagi orang koran.
Di ruang rapat, anak-anak redaksi sudah menunggu. Termasuk Mas Jon. Saya berusaha keras menyusun kata-kata untuk membuka rapat sebaik mungkin. Apa yang harus kukatakan? Bagaimana harus mengatakannya? Ada beberapa wartawan senior selain Mas Jon, tandem dan mentor awalku di liputan lapangan, dan hari ini saya memimpin mereka dalam rapat redaksi.
“Eel mana? Kok bukan dia yang mimpin rapat?” kata Jon, menggelegar, sebelum aku bicara. Soal rapat di percetakan itu aku sampaikan sebagai alasan, dan jawaban itu jadi pembuka yang mulus, pengantar pembuka rapat yang kusampaikan dengan lancar.
Tak ada yang tampak terlalu kaget, beberapa spontan memberi ucapan selamat dan menyalamiku. Anak-anak desain bertanya soal apakah akan ada arahan dan kebijaksanaan desain baru, hal yang selama ini tak pernah dibicarakan, kata mereka. Saya merasakan hal yang sama, maka saya usulkan ada rapat khusus desain setiap minggu, dan rapat kecil khusus desain tiap hari, di luar rapat redaksi.
Mereka tampak senang dan bersemangat. Merasa teperhatikan. Saya menganggap desain sangat penting, bukan sekadar asal ada judul dan gambar atau foto. Ada logika dalam setiap keputusan kenapa halaman koran harus dibuat seperti ini atau seperti itu. Dari divisi desain rasanya saya mendapat dukungan penuh dalam rapat pertama yang kupimpin itu.
Tapi tidak di redaksi. Mas Jon langsung bertanya soal berita otopsi kehamilan Sandra yang sudah dia ributkan sejak sebelum rapat. Andai saja rapat ini dipimpin Bang Eel, saya tak perlu memikirkan bagaimana menjawab ini. Apa kulemparkan saja tanggung jawab itu ke Bang Eel? Tak enak juga rasanya. Tapi kesal juga, ketimpaan tanggungjawab yang seharusnya aku sendiri yang mempersoalkannya. Beginilah hidup itu, persoalan yang sama punya wajah yang berbeda apabila kita ada pada posisi yang lain. Apa ini yang dimaksud oleh Bang Ado sebagai peringatan untuk berhati-hati saa Bang Eel? Toh, aku tak bisa lagi mengelak dari keharusan menjawab soal itu.
”Mas Jon, begini kebijakan kita. Saya yang dapat info itu dari dokkes polresta, dan dia tak mau dikutip sebagai sumber. Saya juga minta ditunjukkan dokumen hasil otopsinya, mereka bilang tak bisa menunjukkan. Kalau koran kita memutuskan tak memberitakannya lebih ke bentuk kehati-hatian kita. Kita perlu verifikasi fakta itu. Kalau ada sumber resmi yang mau dikutip namanya sebagai sumber, kita naikkan…,” kata saya mencoba sebijak mungkin.
”Kamu jangan ajarin aku sual nulis berita, deh. Aku lebih pengalaman dari kamu, Dur! Itu keputusan Eel kan? Aku curiga sama dia, ndak usah kamu lindungi dia,” kata Mas Jon.
”Tadi malam kan masih dia yang mengedit berita halaman satu?” kata saya, dengan jawaban bersayap.
”Hari ini kita di lapangan diketawain orang, cuma kita yang tak memberitakan itu. Kamu tanya ini Yon. Iya kan, Yon?” kata Mas Jon.