Oleh: Hasan Aspahani
FERDY Tahitu Namanya. Ia muncul di depan pintu rumah kontrakanku pada saat yang tepat. Kami sedang menyiapkan Dinamika Kota, dengan sangat buru-buru. Semua dilengkapi dengan lekas.
Kantor dengan segala perlengkapan, kendaraan operasional, anak-anak pemasaran dan iklan, desainer, dan terutama wartawan.
Saya percaya apa yang diyakini oleh bos-bos kami, bahwa koran itu jadi kalau ada tiga orang wartawan, bukan orang iklan atau agen, berkumpul dan bekerja bersama.
Intinya di jurnalismenya. Mulainya dari situ, tapi bagian lain bukannya tak penting.
Aspek bisnis harus beres juga untuk menjaga idealisme jurnalisme itu.
Saya akhirnya mengambil tawaran rumah kredit dari developer yang diperkenalkan Bang Ameng.
Perumahan baru di Kawasan Petimban. Lokasinya di antara Sekumpang dan Tanjung Kawin. Tak terlalu jauh dari pusat kota, dari kantor.
Ada jarak yang terasa, memberi arti bagi kata pulang. Pulang kerja ya ke rumah. Rumah adalah sesuatu yang berjarak dari kantor.
Sementara rumah 27/60 yang saya ambil dengan kredit 15 tahun itu dibangun, dan saya mencicil DP-nya, saya mengontrak di blok lain yang sudah ramai.
Saya menolak kredit keras tanpa DP yang ditawarkan Bang Ameng. Paling-paling dia juga yang bayarin uang mukanya, berutang jasa lagi saya sama dia. Tak nyaman rasanya.
Ke rumah kontrakan sementara itulah, Ferdy mendatangi. Dia datang dengan sebotol besar minyak kayu putih dari Pulau Buru. Buat oleh-oleh katanya.
”Saya Ferdy, Bang… Ferdy Tahitu,” katanya, setelah mengucapkan salam dengan fasih.
Saya sedikit kaget dan bingung. Tak ada yang tahu tentang rumah ini, kecuali orang kantor, anak-anak yang bantu saya pindahan. Seorang kurus tinggi dengan rambut ikal kecil berdiri di depan pintu.
”Kita belum pernah bertemu. Tapi saya yakin saya ketemu orang yang baik,” katanya.