Dengan sepengetahuan saya, Edo membangun hubungan dengan beberapa preman Ambon di Borgam.
Kelompok ini tak terlalu besar tapi cukup disegani. Afiliasinya ke tentara.
Pilihan itu tentu berisiko, antara lain akan berhadapan dengan kelompok lain yang dilindungi polisi.
Kelompok Edo itu tadinya tak punya nama. Sekarang, setelah Edo bergabung, mereka malah pakai nama Terpedo.
Deklarasi pemakaian nama itu membuat kelompok mereka menjadi besar karena berhubungan dengan kelompok dengan nama yang sama di kota lain.
Apalagi Terpedo sebenarnya tidak secara khusus menghimpun preman-preman Ambon. Beberapa preman pun tergabung, terutama mereka yang berasal dari timur.
Kepentingannya satu: membeking tempat-tempat perjudian dan terutama penyelundupan barang. Dua wilayah yang bukan wilayahnya kepolisian.
“Kita ke Pelabuhan,” kataku mengarahkan Edo.
Ada beberapa pelabuhan feri di Borgam. Para pendatang dari negeri seberang bisa masuk lewat Pelabuhan Feri Internasional Sekumpang, ini pelabuhan pertama dan tertua, lalu pelabuhan di Borgam Sentral, dan pelabuhan khusus di Penangsa. Yang terakhir itu khusus untuk turis yang mau main judi di kasino di sana.
Kegiatan melanggar hukum itu tak pernah diakui, tapi tak sulit untuk membuktikan bahwa kegiatan itu ada. Perjudian tak pernah legal di negeri ini. Tapi di pulau ini yang ilegal itu terselenggara dilindungi oleh aparat. Ada uang besar mengalir dan berputar di situ.
Kalau mau diusut, gaya hidup mewah oknum perwira-perwira polisi itu dari situ sumber uangnya. Tentang judi ini saya dapat pandangan menarik dari Bang Risman “Ameng” Patron. Dia bilang, bagi mereka suku Tionghoa, judi itu budaya yang tak bisa ditinggalkan. Menunggu mayat sebelum dikremasi atau dimakamkan saja mereka main judi. Dia setuju ketika ada usaha untuk membuka kasino, di kawasan khusus di Penangsa, atau di rangkaian pulau Golong, Rumpat, dan Borgam. Dia bahkan ikut terlibat di persiapan awalnya.
Ada jembatan panjang yang menghubungkan tiga pulau besar di kepulauan ini. Orang menyebutnya Jembatan Gortam, akronim dari tiga nama pulau yang terhubungkan, meski tiap-tiap jembatan itu punya nama pahlawan Melayu merujuk sejarah lokal.
Saya ingat penjelasannya. “Judi itu tak akan pernah bisa hilang. Persoalannya mau dilegalkan, atau terus dilarang tapi ya seperti sekarang, diam-diam dibiarkan dan dilindungi,” katanya.
“Bang Ameng main?” tanyaku.
“Pastilah. Mana bisa tak main. Tapi saya main untuk pergaulan saja. Saya tak sampai candu. Kalau main kalah sampai 100 juta, saya stop. Segitu saja batasnya,” katanya.
“100 juta, Pak?” kata saya kaget.