Siapa Membunuh Putri (19): Judi dan Jatah

Rabu 21-09-2022,04:20 WIB
Reporter : Adminradarkaur
Editor : Adminradarkaur

“Itu tak seberapa. Kecil sekali itu. Pemain besar itu mainnya rata-rata 1 miliar, Mas Dur,” kata Bang Ameng. 

Saya bayangkan betapa besar perputaran uang dari perjudian ilegal itu. Dan saya paham kenapa aparat membiarkannya bahkan melindunginya. Bandar di kasino itu sudah atur semua permainan, peluang penjudi menang hanya 30 persen. Hanya 30 persen. Artinya mereka pasti dapat 70 persen. 

“Ambil 40 persen untuk margin itu sudah besar sekali. Bisnis apa yang rutin dan pasti dapat 40 persen? Lalu sisa 30 persen bagian untuk keamanan. Anggap aja itu bagian dari biaya operasional.  Kalau pun sampai 50 persen biaya pengamanan, kan masih ada 20 persen. Bisnis ilegal itu biaya terbesarnya memang di pengamanan. Banyak pihak yang harus diberi jatah uang diam, termasuk media,” kata Bang Ameng.

“Wartawan juga, Pak?’

“Iyalah. Tanya saja Eel, dia yang tiap bulan terima dan atur pembagiannya,” kata Bang Ameng. Saya terkejut tapi berusaha untuk tidak tampak terkejut.  Sudah lama saya mendengar selentingan itu, sejak kami di Metro Kriminal.  Eel selalu royal. Dari mana uangnya?  Dia selalu katakan ada uang operasional khusus. Saya kira itu dari anggaran khusus kantor.  Sejak mendapatkan informasi dari Bang Ameng, saya meragukannya.  Tiba-tiba saya merasa terlalu polos. Terlalu idealis jugakah?  

“Kamu sudah dapat info kalau Putri itu suka main judi? Saya beberapa kali lihat dia main di kasino. Coba diinvestigasi. Itu yang sering bikin dia dan suaminya selalu bertengkar. Mungkin itu ada kaitan dengan pembunuhannya. Padahal kan itu sama saja uang bandar kembali ke kasino,’ kata Bang Ameng.   

Semakin rumit saja rasanya. Tapi semakin menarik. 

Sambil menunggu Suriyana di ruang tunggu kedatangan saya memotret beberapa objek menarik.  Dengan kamera di tangan, saat memotret, cara pandang seseorang menjadi berubah.  Itulah yang kurasakan dan kudapatkan pembenarannya dalam sebuah esai tentang fotografi.  Interior ruang tunggu yang monoton itu tiba-tiba tampak menarik. Street photography bukan persoalan teknis memotret tapi sebuah cara pandang, sebuah pendekatan terhadap objek dan terhadap fotografi itu sendiri.  Fakta yang tampak tak bisa diubah atau diatur seperti foto salon, tapi cara pandang atau cara melihat fakta itu bisa bermacam-macam. 

Memotret bagiku bisa jadi terapi yang menenangkan. Paling tidak itu yang kurasakan, sedikit meredakan ketegangan. Saya tegang dengan apa yang hendak kutanyakan pada Suriyana, tentang kepastikan hubungan kami.  Saya tidak takut, hanya ragu dan cemas.  Tapi ini tak boleh ditunda. Hari ini saya harus membicarakannya.  

Saya mendengar pengumuman kapal dari seberang merapat. Itu kapal yang disebut Suriyana dalam pesannya.  Tak lama satu per satu penumpang muncul di gerbang kedatangan setelah melewati loket-loket imigrasi.  Aku memotret mereka.  Akhir pekan yang ramai. Kapal penuh.  Lalu muncul Suriyana dia tak melihatku. Dia berjalan sambil berbincang dengan seorang laki-laki.  Mungkin orang yang baru dia kenal di feri. Atau teman sekantor di lembaga filantropinya. 

Aku melambaikan tangan ketika kulihat Suriyana mencari-cari saya. Dia mendekati saya bersama laki-laki itu. Laki-laki yang ternyata bukan kenal di feri bukan pula teman sekantor. Kami berjabat tangan.

“Ini Azeem. Kawan lama saya. Baru balik dari sekolah master di London,’ kata Suriyana. Saya mengendus ada hubungan khusus di antara mereka. Suriyana tak berusaha menyembunyikannya. Azeem pun saya lihat begitu. Tak susah untuk segera menyimpulkan bahwa mereka bukan sekadar kawan.  

Saya menawarkan apakah mereka mau menumpang mobil saya dan mau diantar ke mana, Suriyana bilang mereka sudah memesan mobil. Mereka mau berkunjung ke pesantren Alhidayah, melihat perkembangan koperasi yang mereka bantu.  “Azeem tertarik untuk pelajari model kegiatan filantropis yang saya buat di koperasi Alhidayah,” kata Suriyana. Ia bertanya apakah saya akan ikut ke Watuaji, saya bilang saya akan susul nanti. Dia bilang dia undang saya makan malam itu bersama Azeem.   

Saya membayangkan makan malam terburuk sepanjang hidup saya.  Saya tak bisa menghindar.  Sudah lama saya cerita soal kelong, tempat makan terapung di laut, yang banyak terdapat di Pulau Golong dan Pulau Rumpat, juga di beberapa tempat di Borgam.  Ikan segar, suasana khas. Aroma laut dan ombak yang menggoyang kelong, bikin hidangan yang tersaji terasa sangat nikmat.  

Ketika tiba agak terlambat. Azeem dan Suriyana sudah lebih dahulu sampai.  Satu per satu pesanan datang.  Udang goreng mentega. Kerang masak saos pedas. Kerapu stim.  Kangkung belacan.  Cumi goreng tepung.  “Ini juga untuk merayakan Azeem yang baru kembali dari London, merayakan gelar master yang dibawa Azeem,” kata Suriyana. Saya hanya tersenyum, sebaik mungkin menata senyum. 

“Nasinya untuk tiga,” tanya pelayan.

Tags :
Kategori :

Terkait