Maka pada jam seperti itu yang diputar adalah sinetron. Kian sedih kian baik. Sepak bola hanya mengganggu rating.
Selama ini, sepak bola bisa dimainkan pukul 20.00 pun itu karena stasiun TV-nya sudah berbaik hati.
Di mata stasiun TV sebenarnya sepak bola baru baik bila disiarkan pukul 23.00. Ketika anak-anak dan ibu mereka sudah mau tidur.
Pukul 20.00 pun sebenarnya masih termasuk prime time. Karena itu, kalau awalnya, jadwal pertandingan Liga 1 dimulai pukul 20.30. Di Samarinda dan Makassar itu sudah pukul 21.30.
Presiden Persebaya –rasanya saya tahu namanya– sejak awal mempersoalkan jadwal ini. Tidak masuk akal. Bonek mendukungnya.
Sang presiden terus menulis artikel mengenai bahaya main terlalu malam. Bonek pun mendukungnya lewat unjuk rasa.
Polrestabes Surabaya juga punya pikiran yang sama. Mereka berjuang bersama.
Akhirnya jadwal Persebaya berubah: pukul 15.30 semua. Jadwal tim lainnya tetap malam: pukul 20.00. Berubah sedikit. Maju setengah jam.
Rating sepak bola sebenarnya tidak jelek-jelek amat. Masih jauh lebih baik dari pada warta berita.
Maka stasiun TV berebut juga untuk mendapatkan hak siar. Sampai ditenderkan: siapa yang mau bayar paling tinggi ialah yang punya hak siar.
Uang itu masuk ke Liga Indonesia Baru (LIB). Sebagian dibagi ke klub-klub Liga 1.
Disebut sebagai subsidi untuk klub. Kata subsidi itu diprotes. Itu memang hak klub sebagai pemegang saham PT LIB.
Hampir pasti, ke depan, tidak akan ada pertandingan malam.
Jera dengan apa yang terjadi di Kanjuruhan. Itu seperti kembali ke zaman dulu, ketika banyak stadion belum punya lampu sorot.
Main malam sebenarnya ada asyiknya. Tidak panas. Pemandangan lebih fokus ke lapangan –karena di luar itu gelap.
Pun waktu penonton menyanyikan ''lagu kebangsaan'' masing-masing, suasananya bisa lebih magis: semua penonton menyalakan flash light dan mengayunkannya ke kanan-kiri.