Tapi jam 20.00 terlalu malam. Yang terbaik tetap malam tapi dimulainya jam 18.00 atau 18.30.
Masalahnya: stasiun TV kurang tertarik. Sepak bola tidak bisa membuat penonton terisak-isak pada jam prime time itu.
Kalau saja ada yang meneliti, mungkin jam-jam itulah pemakaian tisu tertinggi di Indonesia.
Tidak semua pertandingan sepak bola ratingnya rendah.
Persebaya, Persib, Persija adalah tiga tim teratas dalam hal rating. Lalu Arema, PSIS, dan PSM.
Stasiun TV, kalau boleh, pasti hanya mau membeli pertandingan yang melibatkan enam tim itu.
Tapi PT LIB menjualnya secara paket: harus ambil semua.
Maka, untuk jadwal, kita punya tiga pilihan. Main sore dengan hak siar tetap dijual. Tentu dengan harga lebih murah.
Enam klub tadi tidak akan keberatan. Dengan main sore pendapatan mereka bertambah: dari penjualan karcis.
Pilihan kedua, main malam hari tapi jam 18.00 dimulai.
Kalau stasiun TV tidak berminat mengambilnya tidak masalah. Klub-klub bisa jualan aplikasi live streaming.
Pilihan ketiga, demokrasi. Klub-klub memilih sendiri jadwal masing-masing. Dengan koordinasi dengan kepolisian setempat.
Praktis yang perlu diwaspadai sebenarnya hanyalah pertandingan yang melibatkan enam tim tersebut. Jangan sampai tim lain ikut jadi korban.
SOP-pun jangan dibuat sama. SOP yang ketat akan menambah biaya pengamanan.
Di luar enam tim tersebut, mungkin, dengan SOP yang paling sederhana pun sudah cukup.
Peristiwa besar selalu melahirkan pemikiran besar. Bukan mematikan harapan besar. (*)