DPR Minta Batalkan Pembahasan UU Pemilu

DPR Minta Batalkan Pembahasan UU Pemilu

JAKARTA – UU Pemilu yang saat ini ada, dianggap masih relevan dan bisa dijadikan dasar untuk pesta demokrasi selanjutnya. Masa pandemi yang belum usai, menjadi alasan agar RUU Pemilu yang tengah dibahas di Baleg tidak dilanjutkan. Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus meminta untuk menunda atau membatalkan pembahasan perubahan terhadap UU Kepemiluan. Hal ini meliputi Undang-Undang Pemilihan Presiden, Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Kepala Daerah. Guspardi beranggapan saat ini, masih dalam kondisi pandemi Covid-19, sangat dibatasi pertemuan secara fisik dan lebih banyak dalam bentuk virtual sehingga tidak efektif melakukan berbagai pembahasan Undang-Undang. Gagasan ini disampaikan Guspardi setelah menghadiri dan melakukan diskusi terbatas dengan tokoh, pemerhati dan elemen masyarakat. “Lebih elok rasanya saat ini kita memikirkan bagaimana mengatasi pandemi dan dampak ekonominya, hingga meningkatkan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya kedisiplinan guna mencegah Covid-19, ketimbang kita merubah lagi UU Pemilu ini,” papar Guspardi Sabtu (23/1). Berdasarkan laporan dari Gugus Tugas, pandemi Covid-19 makin parah terutama dikawasan pulau Jawa dan Bali, sehingga pemerintah kembali memperpanjang Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Melihat dan mengamati kondisi pandemi covid19 yang makin rawan dan parah tentu akan lebih baik energi ditumpahkan untuk bagaimana agar masyarakat terhindar dari wabah yang sudah hampir satu tahun melanda negara. “Jadi lebih baik fokus pada penanganan pandemi Covid-19 dan mengutamakan keselamatan masyarakat,” tutur Guspardi. Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI juga menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum dengan beberapa pakar terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu). Dalam rapat tersebut, Anggota Baleg DPR RI Bukhori menyampaikan, lembaga legislatif ini terus berupaya mengukuhkan Pemilu sebagai pendorong kemajuan demokrasi. “Kami dorong Pemilu yang dapat menghadirkan demokrasi yang substantif. Bahwa Pemilu tidak hanya berdasarkan kekuasaan dan uang, jangan sampai itu jadi panglimanya. Pemilu yang bersih dan murah, itu yang harus dipikirkan bagaimana mencapainya,” sebut Bukhori. Anggota Komisi VIII DPR RI ini juga menyoroti karakter masyarakat yang merupakan peserta Pemilu masih belum dapat berpikir dengan jernih. Beberapa masih mudah terprovokasi dengan uang dan iming-iming calon kepala daerah atau wakil rakyat. Sehingga UU yang mengatur Pemilu nantinya harus dapat mengatasi problem tersebut. Terkait adanya politik uang juga menjadi sorotan Anggota Baleg DPR RI Nurul Arifin. “Soalnya sistem pemilu (proporsional) terbuka menghasilkan defisit dalam demokrasi, tak jarang suara yang diperoleh berasal dari modal yang tinggi. Pada akhirnya ada kapitalisasi suara dalam pemilihan,” ungkap Nurul. Selain itu, Anggota Komisi I DPR RI tersebut juga menyuarakan dukungannya untuk memperkuat afirmasi keterwakilan perempuan di parlemen dalam RUU Pemilu. “Kuota 30 persen (keterwakilan perempuan) harus dijaga. Insya Allah di partai akan setuju, sebab harus diakui dalam politik bahwa tidak ada demokrasi tanpa kehadiran perempuan,” tegasnya. Adapun politisi Partai Golkar itu turut menyoroti peran penyelenggara dan pengawas Pemilu. Terkait Bawaslu misalnya, ia menilai keberadaan lembaga tersebut over power. Sering kali di beberapa kasus di tingkat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), lembaga itu membatalkan pencalonan bahkan pemenangan calon kepala daerah. (khf/fin)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: