Siapa Membunuh Putri (27): Melamar Inayah
Hasan Aspahani--(dokumen/radarkaur.co.id)
Saya lekas menyusun draf, ancang-ancang, mungkin begini kalimatnya: Pak, saya tak tahu adatnya seperti apa. Saya takut tak menghormati Bapak sebagai orang tua. Saya tak punya orang tua yang bisa saya minta untuk melamar Inayah untuk saya, maka maafkan saya karena menyampaikan ini sendiri kepada Bapak. Saya melamar Inayah untuk jadi istri saya.
Ya, rasanya itulah kalimat terbaik yang bisa saya ucapkan.
”Ya. Nak Abdur. Bapak dan ibu merestui kalian. Selanjutnya kalian atur saja ya rencananya,” kata ayah Inayah. Saya lihat Inayah tersenyum bahagia. Dan bangga. Hah? Tadi saya sudah mengucapkannya? Bukan ancang-ancang? Saya terkejut, tapi kemudian merasakan kelegaan yang luar biasa. Beban itu terangkat sudah. Tapi beban lain terletakkan di pundak saya. Lebih berat tapi saya merasa serta-merta menjadi lebih kuat. Saya yakin bisa menanggung beban baru ini. Bersama Inayah.
Inayah meminta pada ayahnya untuk menikah di Pesantren Alhidayah. Bersanding juga di aula pesantren. Tadinya saya meminta izin pernikahan kami dilakukan setelah rumah saya selesai. ”Tinggal saja di rumah Inayah. Itu jadi rumah kalian kalau kalian sudah menikah nanti,” kata ayah Inayah.
Saya dan Inayah mengantar ke Bandara Hang Tuah, kepergian dua orang tua itu kembali ke Pekanbaru. Dua orang tua yang tampak sangat bahagia. Seperti telah memindahkan beban berat tanggung jawab atas anak perempuannya ke lelaki yang baru saja mereka kenal, yang untungnya bisa mereka percaya. Inayah mengajakku makan di restoran seafood di Penangsa. Ada yang dia mau bicarakan berdua.
”Tadi ingat ya ayah ceritanya berapa lama mereka menunggu sampai saya lahir. Empat tahun untuk dapat anak pertama. Saya kemungkinan besar mewarisi masalah kesuburan dari ibu. Mens saya tak pernah teratur sejak semula. Mungkin saya tak subur. Mungkin saya susah atau bahkan tak bisa punya anak, Mas,”
”Dari caramu mengasuh anak-anak panti, saya yakin kamu adalah ibu yang baik. Kamu sudah jadi ibu sebelum kamu punya anak. Saya kalau jadi anak-anak pasti bahagia punya ibu kayak kamu,” kataku.
”Oh, mau jadi anakku? Ngak mau jadi suamiku, nih?”
”Jadi ayah anak-anakmu,” kataku. Dan pesanan kami pun datang. Itulah makan siang ternikmat kami sebagai sepasang manusia yang sangat berbahagia. Saya sejak hari itu merasakan perubahan. Saya merasa jadi orang yang berbeda. Saya menjadi lebih berhati-hati. Bukan menjadi penakut, tapi jadi banyak menimbang. Saya merasa diriku kini bukan hanya menjadi milikku sendiri. Ada Inayah yang tiap kali hendak memutuskan sesuatu saya memasukkan dia sebagai variabel tambahan untuk dipertimbangkan.
Di kantor, Bang Eel memanggil saya ke ruangannya. Ada yang mau dia bicarakan, katanya. ”Kamu dekat sama Ustad Samsu, kan?” tanyanya.
”Seperti pengganti orang tua saya, Bang,” jawabku.
”Dia bisa mengislamkan orang, nggak?”
”Siapa, Bang?”
”Nenia. Kami mau menikah,” kata Bang Eel, bersemangat.
”Alhamdulillah.” (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: