Melihat Tradisi Melemang dalam Adat Kaur Bengkulu

Melihat Tradisi Melemang dalam Adat Kaur Bengkulu

Melihat Tradisi Melemang pada Suku di Kabupaten Kaur pada Hari Besar Keagamaan dan Adat--Tangkapan Layar Facebook @Desaa Muara Sahung

Kegiatan ini dinamakan dengan nue’i rasan atau merasan. Pada waktu ini belum membawa lemang, tetapi membawa makanan lain yakni boak (lemak manis) dan pisang goreng. 

Boak adalah makanan yang terbuat dari isi kelapa yang diparut bercampur gula merah. Sedangkan pisang goreng adalah buah pisang yang digoreng bercampur tepung. Penggunaan boak dan lemang dalam upacara perkawinan mempunyai makna tersendiri. 

Jika yang dibawa boak tanpa lemang berarti acara masih tingkat keluarga (belum adat), tetapi jika sudah membawa lemang maka sifatnya lebih tinggi atau merupakan acara adat (rasan kule). Karena melibatkan masyarakat yang lebih luas dan dihadiri oleh kepala desa dan pemuka adat.

Pada masyarakat di Besemah, lemang bawaan pihak pengantin laki-laki untuk pengantin perempuan adalah lemang gemuk yang tidak selalu menggunakan pucuk daun pisang antara beras dengan dinding bambu.

Beras ketan yang sudah bercampur dengan santan, garam dan lainnya langsung dimasukkan kedalam bambu yang telah dibersihkan tanpa dilapisi daun pisang. Lemang yang tidak menggunakan pucuk daun pisang biasanya lengket dengan bambu setelah dimasak, sehingga ketika membuka lemang tersebut harus dibelah dengan pisau.

 Bambu dari lemang gemuk untuk perkawinan ini biasanya dikupas bagian luarnya dengan menggunakan pisau.

 Sehingga batang lemang gemuk itu berwarna putih, tidak hijau seperti bambu umumnya.

Setelah terjalinnya kesepakatan antara kedua belah pihak, langkah selanjutnya adalah melamar (meminang) yang dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.

 Dalam hal ini orang tua calon pengantin laki-laki akan datang ke tempat perempuan ditemani saudaranya, dengan membawa lemang sebanyak 10 batang (lemang gemuk) dan pisang goreng, sedangkan boak (lemak manis) tidak dibawa lagi. 

Bawaan (hantaran) itu harus dilengkapi dengan tungking yang berisikan sirih, gambir, pinang, tembakau, dan lainnya. 

Tungking merupakan syarat utama dalam adat Besemah yang bermakna menyatukan kesepakatan antara dua keluarga dalam ikatan perkawinan antara anak mereka. Kepala desa dan pemuka adat akan marah jika tidak ada tungking dengan lemang itu ketika pihak pengantin laki-lali merintis pernikahan.

Lemang sebanyak 10 batang (lemang 10) menandai terciptanya hubungan antara bujang dengan gadis dalam ikatan pertunangan. 

Penyerahan lemang itu menandai berubahnya tuturan (sebutan/panggilan) dari kedua belah pihak, ayah bujang akan memanggil calon menantu dengan “nak’, ayah bujang manggil ayah gadis dengan “warang (besan)”, sedangkan ibu bujang manggil ibu gadis dengan “bisan (besan)”, begitu sebaliknya.

Pihak perempuan akan membalas bawaan dari pihak laki-laki itu dengan makanan bajik dan pisang goreng. Pada waktu itu disepakati pula kapan pelaksanaan pernikahan (kagu’an) antara bujang dan gadis, serta dimana kedua pengantin bertempat tinggal setelah menikah. 

Biasanya jarak waktu pelamaran (pertunangan) dengan waktu pernikahan adalah 1 bulan. Pesta perkawinan (kagu’an) diadakan di tempat kedua belah pihak, pada hari pertama dilaksanakan di tempat pihak perempuan dan besoknya di rumah pihak laki-laki.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id