Oleh: Dahlan Iskan
KIAI satu ini selalu pakai blangkon. Sekilas lebih mencerminkan sosok tokoh kebatinan daripada ulama Islam.
Ketika MC menyilakannya berceramah agama, ia pun duduk di kursi khusus yang telah disediakan untuknya.
Ia lantas mengambil mikrofon. Bukan mengucapkan salam pembuka Assalamu'alaikum tapi melantunkan pucukan gending Jawa.
Begitu lantunan sang kiai selesai langsung disambut dengan riuhnya gamelan. Dan lagu pun dilanjutkan oleh para pesinden berjumlah delapan orang.
Satu gending lagu berlalu. Sang kiai minta para sinden menyanyikan satu lagi tambahan lagu. Sang kiai terlihat sangat menikmati gending-gending Jawa itu.
Kakinya yang ditumpangkan ke kaki satunya terlihat bergoyang mengikuti irama gending dan gamelan.
Sang kiai tidak banyak bicara. Justru saya yang diminta menjelaskan apa maksud acara malam itu diadakan: pergelaran wayang hakikat.
Nama kiai itu: Mohamad Nur Warji. Dari Desa Suru, Grobogan, Jawa Tengah. Ia lebih sering dipanggil romo daripada kiai.
Desa ini sangat pelosok, pun bila dilihat dari kota Purwodadi, ibu kota kabupaten Grobogan. Letaknya tidak jauh dari waduk Kedung Ombo, yang dibangun di zaman Presiden Soeharto.
Berkat waduk itu, Grobogan yang dulunya miskin dan gersang menjadi salah satu lumbung pangan di Jateng.
Dari Surabaya saya naik mobil ke desa itu. Lewat jalan tol ke arah Solo. Saya keluar tol di exit Sragen. Ke arah utara. Lewat pedesaan dan hutan jati. Sejauh 2 jam.
Dua minggu sebelum pergelaran itu Romo Warji dan Ki Dalang Hardono memang ke rumah saya: menjelaskan apa itu wayang hakikat.
Inilah pergelaran wayang kulit yang setting-nya sensitif: pergolakan antara kelompok fikih dan kelompok sufi di zaman walisongo. Antara laku sare'at dan hakikat.
Lakon pergelaran malam itu: Banjaran Syekh Siti Jenar. Anda sudah tahu: Siti Jenar akhirnya mati akibat mempertahankan pengajarannya.