MENJAGA BAHASA IBU

MENJAGA BAHASA IBU

SEJAK 17 November 1999, UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai hari Bahasa Ibu Internasional. Tanggal tersebut dipilih karena memiliki alasan historis yaitu bertepatan dengan Hari Gerakan Bahasa yang awalnya dilakukan di Bangladesh. Masyarakat Indonesia saat ini akan sulit memahami kenapa bahasa daerah harus dilestarikan. Penetrasi cepat bahasa Indonesia melalui dunia pendidikan telah memarginalisasi bahasa daerah sebagai bahasa kelas dua. Bahasa yang dipersepsikan sebagai simbol yang bertautan erat dengan ketertinggalan, udik, bahkan kebodohan. Bahasa ini merupakan penghambat kemajuan karena tidak memiliki orientasi untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Akibatnya, banyak generasi muda terdidik yang meninggalkan bahasa daerahnya. Akibatnya bahasa-bahasa tersebut tidak memiliki penutur lagi dan lama kelamaan menjadi punah. Indonesia yang merupakan negara dengan keragaman bahasa daerah terbesar kedua di dunia dengan lebih dari 746 bahasa daerah yang masih bertahan (Pusat Bahasa, 2008). Delapan  bahasa daerah diklaim telah punah.Sebuah kehilangan besar Sulit mengetahui bagaimana kondisi bahasa daerah lain di Indonesia, karena hingga hari ini pemerintah belum memiliki data menyeluruh tentang kondisi (vitalitas) bahasa daerah di Indonesia. LIPI meramalkan hanya akan ada empat bahasa daerah yang bertahan dari keseluruhan jumlah tersebut pada 2050. Di wilayah administratif Provinsi Bengkulu terdapat empat bahasa daerah, yaitu bahasa Bengkulu (yang meliputi dialek Melayu Bengkulu, Lembak, Serawai, Semendo, Mulak, dan Pasemah), bahasa Rejang, bahasa Enggano, dan bahasa Pekal (Kantor Bahasa Bengkulu, 2013). Dari empat bahasa tersebut hanya bahasa Bengkuluyang masih mungkin bertahan. Bahasa lain seperti Rejang dan Pekal sudah mengalami pergeseran dan penurunan jumlah penutur secara signifikan.Bahasa Enggano hingga saat ini masih memiliki peluang karena didukung oleh kondisi geografisnya yang terisolir (Wibowo, 2013). Hari-hari ini sulit meramalkan masa depan bahasa-bahasa daerah di Bengkulu. Bahasa Daerah sebagai Kapsul Waktu Kearifan Lokal There is W-O-R-D to make a W-O-R-L-D Kata-kata di atas menggambarkan bagaimana pentingnya sutau bahasa dalam pembentukan dunia melalui kearifan lokalnya. Dunia (world) pada hakikatnya bukanlah benda materi. Benda tempat manusia hidup dan tinggal disembut bumi (earth). Dunia (world)  merujuk padaserangkum pemikiran yang disepakati oleh manusia sebagai respon terhadap entitas di sekitarnya. Rangkuman pemikiran itu dibentuk berdasarkan persepsi dan dituangkan lewat kata-kata. Begitulah peran kata dalam membentuk dunia. Hal itu lah yang menyebabkan kita mengenal istilah dunia kedokteran, dunia islam, dunia politik, dunia olah raga, atau dunia tulis-menulis. Semua dunia tersebut menuangkannya dan membatasi dunia mereka lewat kata-kata.Kata-kata ini akan menentukan persepsi dan respon anggota masyarakatnya terhadap dunia. Dunia kedokteran misalnya memiliki kalimat boleh bohong, tidak boleh salah. Inilah dasar yang menentukan respon mereka pada dunia. Meski norma di dunia umum melarang seseorang berbohong, dalam dunia kedokteran seorang dokter boleh saja berbohong saat menumbuhkan semangat hidup dalam diri pasiennya. Dan dalam dunia kedokteran,  pelaku malpraktik akan mendapat hukuman sosial yang sangat parah meski di luar dunia itu dia tetap dihormati. Begitulah kata (baca bahasa daerah) berkerja dalam membentuk dunia etnik tertentu. Bahasa Rejang membentuk dunia etnik Rejang yang pisang detudak luyen siket atau dunia etnik Serawai yang sekundang setungguan. Dunia mereka beserta perangkat pengetahuan yang mereka bentuk atau warisi dibentuk dalam bahasa daerah mereka. Oleh karena itu, akibat dari punahnya bahasa daerah tidak bisa dianggap enteng karena sama dengan hilangnya satu dunia (peradaban)  beserta segenap kearifan lokalnya. Punahnya suatu bahasa membawa pengetahuan dan kearifan lokal bersamanya. Hilangnya kearifan lokal menghilangkan kemungkinan bagi kita untuk menemukan solusi dari pengetahuan yang telah dibangun nenek moyang kita. Kita harus mahfum bahwa waktu telah membuktikan pada kita bahwa penyelesaian masalah melalui adopsi budaya asing banyak menimbulkan ekses yang negatif. Budaya lokal, sebaliknya, memberikan kita kemungkinan-kemungkinan yang lebih sesuai untuk memecahkan persoalan kehidupan yang kita hadapi. Ini karena kearifan lokal,yang disampaikan dalam bahasa daerah, dibentuk melalui proses pembelajaran dan disempurnakan secara turun temurun dalam ekologi lokal. Sebagai respon dari tantangan ekologi lokal, rumusan solusi yang dihasilkan dalam proses penyempurnaan bertahun-tahun ini akan menjadi sangat kontekstual dan tepat guna. Jabaran di atas akan lebih mudah dipahami jika kita mengemukakan contoh-contoh tertentu. Dalam masyarakat Bengkulu kita kenal ungkapan ikan sejerek, bere secupak. Ungkapan ini sering kali dimaknai secara negatif oleh generasi muda sekarang. Padahal dalam konteks kekinian ungkapan ini merupakan jawaban bagi krisis sosial dan krisis lingkungan yang kita hadapi dewasa ini. Ikansejerek, bere secupakhakikatnya mengajarkan etnik Bengkulu untuk tidak berlebihan mengeksplotasi sesuatu, baik lingkungan maupun diri sendiri. Ikan sejerek menganjurkan etnik Bengkulu untuk mengambil secukupnya dari alam demi menjamin kelangsungan ekologinya. Ini merupakan usaha untuk melestarikan lingkungan. Bere secupakmerupakan nasihat bagi orang Bengkulu bahwa secara sosial mereka harus berbagi. Sebesar apa pun yang mereka dapat hasilkan, apa yang dapat mereka nikmati hanya sesuai kebutuhan mereka, kelebihannya harus mereka pergunakan untuk urusan lain misalnya pengembangan usaha ataupun berbagi pada yang kurang beruntung. Contoh lain yang dapat dikemukakan berkaitan dengan pengobatan tradisional. Masyarakat Bengkulu (khususnya etnik Serawai) secara luas mengenal dauncapa sebagai obat flu untuk bayi dan balita. Generasi muda Serawai yang tidak lagi berbicara dalam bahasa mereka tentu saja tidak mengetahui apa itu daun capa dan apa manfaatnya. Padahal herba ini dapat menjadi alternatif pengobatan yang cepat (karena tumbuh di sekitar lingkungan rumah) dan murah. Bahkan lebih jauh patut digali kemungkinan herba ini dan herba lain yang dikenal dalam masyarakat Serawai untuk dikembangkan dengan cara modern. RefleksiDelapan Belas Tahun Hari Bahasa Ibu Melestraikan bahasa daerah merupakan kewajiban bersama masyarakat, namun harus ditekankan bahwa Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Daerah, dan BMA memiliki posisi penting dalam mewujudkannya. Revitalisasi bahasa daerah di Bengkulu saat ini jauhsekali dari kata ideal, oleh karena itu perlu dimulai gerakan bersama dengan tempo sesingkat-singkatnya untuk menyelamatkan bahasa kita, identitas kita, dan kearifan lokal yang dikandungnya.(**) Penulis: Sarwo Ferdi Wibowo Staf dan Peneliti di Kantor Bahasa Bengkulu  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: