Gembira Sambut Lebaran, Sedih Ramadan akan Pergi
Empati pada Tradisi “Bakar Tunam” dan “Melemang” DENGAN nilai-nilai luhur yang terkandung didalam tradisi budaya lokal “Bakar Tunam” dan “Melemang” merupakan kekayaan bukan benda didalam masyarakat Kabupaten Kaur. Budaya lokal dengan nilai kebijaksanaan, kearifan, dan kebaikan. Semestinya harus selalu dilestarikan agar tak tergerus habis, diseret derasnya arus budaya asing. Budaya lokal yang diwariskan secara turun temurun ini, hendaknya tak berhenti pada satu generasi saja, lalu lenyap dan hanya menjadi cerita. Banyak jenis kearifkan lokal dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Kaur. Baik itu dalam bentuk permainan, pantun, atau cerita rakyat. Di bulan suci Ramadan dengan ibadah puasa pada siang hari dan kini tengah umat Islam jalankan. Di Bumi Se ‘ase Seijean ada tradisi yang dinamai malam Nujuh Likur yang diserap dari budaya suku Melayu, dengan tradisi “bakar tunam serta melemang”. “Budaya ini harus terus dilestarikan. Jangan sampai, budaya ini hanya jadi cerita, terkikis oleh budaya luar yang katanya lebih gaul, namun kebanyakan tidak memiliki nilai luhur serta manfaat,” ungkap tokoh agama sekaligus tokoh budaya Kabupaten Kaur, H Ahmad Yunizar, S.Pd pada Radar Kaur. Terdapat dua alasan mengapa tradisi tersebut dinamakan nujuh likur. Pertama, pada zaman dahulu, orang-orang Melayu berbondong-bondong datang menemui imam masjid, guna membayar zakat fitrah mereka. Kedua, malam 27 Ramadan itu berdasarkan penjelasan dan pengalaman para ulama terdahulu bahwa, mereka sering menemukan malam Lailatul Qadar di saat malam nujuh likur tersebut. Banyak kegiatan yang dilakukan masyarakat Kaur pada tradisi nujuh likur. Di antaranya membakar tunam serta memasak lemang. Tunam yakni sejenis obor, dibuat dari susunan vertikal batok kelapa kering atau dalam bahasa Kaur disebut sayak, lalu dibakar, dimulai pada bagian atasnya. Tradisi ini menjelaskan tentang penerangan tradisional untuk menerangi malam nujuh likur tesebut. Selain menyalahkan tunam, tradisi lain masyarakat Kabupaten Kaur yang perlahan mulai ditinggalkan, yakni memasak lemang dan tapai. Kegiatan menyalakan tunam dan membuat lemang sebenarnya memiliki makna filosofi yang sangat mendalam. Nilai-nilai positif yang terkandung seperti gotong royong, kebersamaan, serta menumbuhkan rasa syukur atas segala rezeki. Terkhusus, dalam membentuk karakter bagi anak-anak, dengan menanamkan nuansa Islami sejak dari kecil. Tradisi nujuh likur juga kental dengan nilai-nilai moral dan spiritual. Lampu tunam seperti mengingatkan bila bulan suci Ramadan akan segera berakhir, maka umat Islam hendaknya lebih meningkatkan ibadah kepada Allah SWT. Terlebih pada malam ganjil ini diyakini datangnya Lailatul Qadar. Oleh karenanya, tradisi itu menjadi symbol datangnya malam yang paling baik daripada seribu bulan. Secara psikologis, emosi yang muncul ketika seseorang mampu memaknai tradisi nujuh likur tersebut ialah perasaan gembira, karena akan menyambut Hari Raya Idul Fitri, dimana diyakini bila pada hari besar setelah melaukan ibadah puasa selama satu bulan, umat Islam kembali bersih dari dosa, seperti bayi yang baru saja lahir. Disisi lain, ada makna kesedihan dari tradisi nujuh likur, dimana menandakan bulan Ramadan akan segera berakhir, sedang belum tentu tahun menandang seorang insan akan kembali berjodoh dengan bulan suci Ramadan. Pergeseran antara budaya tradisional dengan budaya modern telah terjadi di era globalisasi. Tanpa disadari adat istiadat daerah yang penuh nilai luhur, terkikis perlahan, berganti dengan budaya modern yang menurut beberapa individu lebih gaul. Bahkan banyak ditemui bila generasi milenial tak mengetahui apa itu malam nujuh likur. Penyebabnya, karena sejak mereka kecil tak menemui tradisi ini dilakukan dilingkungannya. (yie)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: