PANCASILA

PANCASILA

Oleh Zacky Antony

ADAKAH dasar Negara yang lebih relevan daripada Pancasila? Perlukah Indonesia menjadi Negara Agama dengan dasar Islam sebagai agama mayoritas? Pertanyaan-pertanyaan di atas selalu menjadi bahan diskusi tiada akhir. Perdebatan Pancasila dan Agama atau Negara Pancasila dan Negara Islam seolah ditadirkan menjadi perdebatan abadi di republik ini.

Tapi sampai kapan kita mau selalu berdebat soal ideologi Negara yang sejatinya sudah tuntas di tataran para founding father bangsa? Kita perlu sering bertanya, apa masih relevan perdebatan ideologi di abad digital seperti sekarang? Sementara di sisi lain berjejer persoalan-persoalan bangsa yang tak terselesaikan; kemiskinan, pengangguran, kebodohan, ketertinggalan teknologi, korupsi di segala lini dst.

Konsepsi Bernegara
Tanggal 1 Juni 1945, konsepsi Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia dicetuskan pertama kali oleh Soekarno. Dalam forum sidang BPUPKI, para pendiri Negara berpidato. Dalam buku sejarah orde baru, disebutkan ada tiga tokoh yang berpidato yaitu Muhammad Yamin (29 Mei), Soepomo (30 Mei) dan Soekarno (1 Juni). Namun menurut Moh Hatta, sebenarnya ada puluhan tokoh yang berpidato dalam sidang BPUPKI kala itu. Tapi entah mengapa dalam buku-buku sejarah, nama tokoh-tokoh itu tidak disebutkan.Pernyataan Hatta kemudian diperkuat temuan salinan dokumen di National Archief Belanda. Dokumen berbentuk salinan itu menyebutkan ada tokoh-tokoh lain yang berbicara dalam sidang BPUPKI ketika itu. Sesi pertama disebutkan Yamin berpidato selama 20 menit, Sumitro (5 menit), Margono (20 menit), Sanusi (45 menit), Sosrodiningrat (5 menit) dan Wiranatakusuma (15 menit). Salinan dokumen itu menjadi bahasan disertasi J.CT. Simorangkir di Universitas Andalas (1983). Sayang dokumen aslinya hilang tak tahu ke mana setelah dikembalikan dari Belanda ke pemerintah Indonesia. Sehingga yang diketahui umum hanya pidato Yamin, Soepomo dan Soekarno.

Baik Yamin, Soepomo maupun Soekarno berpidato tentang philosofische grondslag Indonesia merdeka. Pertanyaan pokok yang diminta ketua BPUPKI, Radjiman Wedyodiningrat adalah apa dasar yang di atasnya akan didirikan bangunan Indonesia merdeka.

Seperti diungkapkan sendiri oleh Soekarno pada 1 Juni itu, Arab Saudi didirikan atas dasar Agama Islam, Tiongkok didirikan atas dasar San Min Chu I (Mintsu, Minchuan, Min Sheng) atau Nasionalisme, demokrasi, sosialisme. Jerman didirikan atas dasar nasionalis-sosialisme, Soviet-Rusia didirikan atas dasar Marxisme-Sosialis materialism, Jepang didirikan atas dasar “Tennoo Koodo Seishin.”

Negara Indonesia yang akan kita dirikan ini dasarnya apa? Soekarno menjawab sendiri pertanyaan itu dengan menyebut dasar berdirinya bangunan Indonesia merdeka itu adalah kebangsaan, internasionalism (perikemanusiaan), mufakat atau permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial, ketuhanan yang Maha Esa. Dia menyebut kelima prinsip itu dengan nama PANCASILA.

Soekarno sendiri menolak disebut pencipta Pancasila. Menurutnya dia hanya penggali Pancasila. Istilah Pancasila sendiri diperoleh Soekarno setelah mendapat bisikan dari seorang ahli bahasa yang tidak dia sebutkan namanya. Barulah pada tahun 1966 atau 21 tahun kemudian, Soekarno membuka identitas ahli bahasa yang dia maksud itu adalah Muhammad Yamin.

Sebelum berpidato 1 Juni, malam harinya Soekarno mendatangi rumah Yamin untuk meminta persetujuan para tokoh tentang pidato yang akan dia sampaikan besoknya. Beberapa tokoh menginap di rumah Yamin malam itu antara lain KH. Wahid Hasyim, Kahar Muzzakir dan KH. Masjkur. Soekarno juga meminta saran nama pidato tersebut. Yamin menyumbang kata “sila.” Sedangkan kata Panca berasal dari Soekarno. Tapi kalaupun ada andil pihak lain dalam penyebutan Pancasila, Soekarno lah pencetus Pancasila pertama kali.

Namun Pancasila tidak ujug-ujug menjadi dasar Negara. Prosesnya berliku dan mendalam. Perdebatannya tajam dan panjang. Golongan Islam ingin menjadikan Islam sebagai dasar Negara. Sedangkan golongan nasionalis ingin Pancasila sebagai dasar Negara. Kalau sekarang masih ada yang memperdebatkan Pancasila sebagai dasar Negara, sesungguhnya hal itu hanya mengulangi perdebatan tokoh bangsa yang terjadi antara Mei – Agustus 1945. Kalau kita menghormati para pendiri bangsa, mestinya kita juga menghormati perdebatan mereka. Bayangkan, perdebatan itu bukan satu atau dua jam. Tapi berbulan-bulan.

Adalah Panitia Sembilan yang kemudian bertugas merumuskan Pancasila sebagai dasar Negara. Terdiri Soekarno (ketua), Mohammad Hatta (wakil ketua), Mohammad Yamin, Abikusno Tjokrosujoso, AA. Maramis, Ahmad Subarjo, KH. Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, dan Agus Salim.

Perdebatan golongan Islam dan nasionalis akhirnya mampu ditengahi dengan memasukkan kata-kata pada sila “Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya.” Itulah hasil kompromi antara golongan Islam dan golongan nasionalis yang duduk dalam Panitia Sembilan. Yamin menamainya dengan sebutan Piagam Jakarta.

Namun sejarah kemudian mencatat, tujuh kata pada sila pertama tersebut akhirnya dihilangkan. Yang melatarbelakanginya, pada tanggal 18 Agustus pagi, Moh Hatta didatangi utusan Indonesia Timur yang mengancam akan memisahkan diri jika tujuh kata itu tetap dimuat. Hatta berdiskusi dan meminta persetujuan Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimejo. Kedua tokoh Islam itu menerima sehingga tujuh kata itu akhirnya dihilangkan.

Rumusan akhir Pancasila yang kemudian ditetapkan PPKI pada 18 Agustus 1945 dan berlaku hingga sekarang berbunyi. Pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Tiga; Persatuan Indonesia. Empat; Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Permusyawaratan/Perwakilan. Lima; Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: