Wacana Presiden 3 Periode, Amputasi Konstitusi & Melawan Takdir Sejarah

Wacana Presiden 3 Periode, Amputasi Konstitusi & Melawan Takdir Sejarah

Oleh : Elfahmi Lubis

BELAKANGANini wacana masa jabatan presiden 3 periode menjadi diskursus di ruang publik. Bahkan, sudah ada beberapa kelompok yang tidak sekedar menjadikan isu ini sebagai wacana tapi sudah mulai melakukan langkah-langkah nyata untuk menggolkan misi ini. Baik dalam bentuk penggalangan opini publik sampai lobi-lobi politik ke parpol maupun DPR/MPR agar dilakukan amandemen UUD 1945 terbatas untuk mengubah/merevisi konstitusi terkait pasal 7 yang berbunyi bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Saya menilai soal masa jabatan presiden 3 periode tidak bisa dilihat sebagai wacana biasa, tapi bisa menjadi realitas politik jika publik tidak memberikan "perlawanan" dan "pengawalan" secara nyata untuk menentang segala gerakan dan upaya yang ingin melabrak konstitusi dan takdir sejarah. Pembatasan masa jabatan presiden adalah amanat reformasi 1998 yang diperjuangan secara berdarah-darah oleh mahasiswa dan segenap komponen bangsa yang lain. Munculnya gerakan reformasi karena perlawanan atas praktek kekuasaan orde baru yang menjadikan presiden berkuasa dalam periode yang tidak terbatas sehingga memunculkan oligarkhi, tirani, dan otorianisme. Oleh sebab itu jika masih ada pikiran dan syahwat politik elit politik untuk kembali pada praktek kekuasaan seperti orde baru, selain melawan konstitusi negara yang sah juga melawan takdir sejarah bangsa ini. Untuk itu menjadi tugas kita semua untuk memastikan agar syahwat elit yang ingin memaksa masa jabatan presiden 3 periode harus segera diakhiri dan dikubur dalam-dalam. Narasi yang sengaja dibangun untuk melegitimasi syahwat masa jabatan 3 periode ini adalah seolah-olah belum ada figur lain yang layak untuk menjadi presiden pada periode berikutnya. Narasi lain yang dibangun adalah bahwa untuk menjaga agar Indonesia tidak terjadi perpecahan dan demi keutuhan NKRI. Bahkan ada narasi yang lebih ekstrem lagi bahwa untuk menjaga bangsa ini agar tidak dirampok oleh kekuatan politik yang ingin menjadikan Indonesia "confenssional state". Ngeri-ngeri sedap sekali narasi-narasi yang dibangun, jadi merinding. Saya melihat wacana ini sengaja diproduksi oleh kelompok dan kekuatan politik yang merasa "nyaman" dan kelebihan "vitamin" dengan pusaran kekuasaan yang ada sekarang. Mereka takut jika kekuasaan berganti mereka juga akan kehilangan zona nyaman. Dalam konteks narasi mereka ini disokong oleh para influencer dan buzzer sehingga terbentuk public opinion, bahwa seolah-olah masa jabatan presiden 3 periode merupakan kehendak dan aspirasi rakyat. Walaupun dalam realitas sebenarnya, rakyat bersikap sebaliknya yaitu menolak wacana ini. Mereka ini para ovunturir politik yang selama ini merasa nyaman dan mendapat insentif politik dari kekuasaan saat ini. Analisis liar saya yang lain, wacana ini sengaja dilempar ke publik untuk niat "jahat" mendiskreditkan pemimpin sekarang. Dengan narasi yang dibangun seolah-olah ini kehendak atas restu pemimpin sekarang. Dengan demikian ada amunisi untuk menyerang beliau oleh para pesaing-pesaing politiknya. Soalnya, dalam banyak literatur politik, cara-cara seperti ini dikenal dengan politik belah bambu, yang semula terpadu dan menyatu, lalu dibelah. Yang satu diangkat, yang lainnya diinjak. Politik belah bambu adalah politik khas kolonial. Artikel Sebelumhya : https://radarkaur.id/polemik-prof-perjuangan-vs-prof-pemberian/ Presiden Jokowi sendiri dalam beberapa kesempatan selalu menegaskan komitmen beliau untuk taat pada konstitusi dan tidak punya niat sedikit pun untuk menjadi presiden 3 periode. Bahkan dalam suatu kesempatan beliau tegas menyatakan bahwa pikiran dan ide yang mendorong beliau untuk 3 periode adalah upaya untuk menjerumuskan dirinya. Namun anehnya walaupun presiden sudah berulang kali menyatakan menolak wacana masa jabatan 3 periode, namun narasi dan aksi beberapa kelompok masih saja lantang menggulirkan wacana ini. Semoga saja ini hanya sekedar wacana yang lumrah di negara demokrasi, dan bukan sebuah aksi nyata untuk melawan konstitusi negara. Untuk itu mari kita akhiri wacana ini karena kontra produktif dan tidak memberikan literasi serta edukasi kepada publik tentang bagaimana cara kita berkonstitusi dan bernegara dengan baik. Mari kita fokus dan kosentrasi membantu pemerintah agar pandemi covid 19 ini segera berakhir, sehingga kehidupan kebangsaan kita kembali normal seperti semula.(**) Penulis Adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Bengkulu Artikel Sebelumnya : https://radarkaur.id/pasal-mematikan-demokrasi-kembali-muncul-di-draf-ruu-kuhp/

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: