Siapa Membunuh Putri (14): Edo Terpedoo

Siapa Membunuh Putri (14): Edo Terpedoo

Ilustrasi pembunuhan putri--

Saya mengajak Edo keluar dari ruang pemeriksaan. Kami bergegas ke tempat parkir. Hanya untuk menghindari wartawan.  Beberapa sempat juga bertanya padaku soal penganiayaan Ferdy. Saya menjawab bahwa memang benar itu terjadi. Beberapa wartawan bertanya pada Edo. Saya melihat ia seperti ketakutan. ”Ini saudara Ferdy, tak ada kaitannya dengan penganiayaan,” saya menjawab sembarangan saja. Beberapa orang tanpa izin memotret kami.

Di tempat parkir saya bertanya pada Edo. ”Kau mau pulang ke mana?”  Edo tampak kebingungan. Karena saya tertarik untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi, saya mengajaknya ke kantor Dinamika Kota.

Edo baru saja tiba dari Ambon lewat laut. Singgah di beberapa kota, Surabaya, Jakarta, sebelum kapal Pelni sandar di Pelabuhan Sekumpang. Dia kerabat istri Ferdy. Ia diutus keluarganya untuk menemukan Ferdy dan istrinya. Menyuruhnya bercerai dan membawa istri Ferdy pulang. Ferdy menemui Edo di rumah kerabat istrinya tempat dia semula menumpang sebelum tinggal di rumah kontrakanku. 

”Kami bertengkar dan sempat tak bisa kendalikan emosi. Saya lebih dahulu pukul dia,” kata Edo. Lalu, tiba-tiba saja datang beberapa orang preman, mungkin ada empat motor, kata Edo. Mereka langsung menyerang Ferdy.        

”Saya tak tahu siapa mereka. Saya tak tahu kenapa mereka serang Ferdy. Saya yang bawa Ferdy ke rumah sakit. Saya tanya paman-paman saya semua juga diam saja, sepertinya mereka tahu,” kata Edo. 

Kini jelas bagiku, Edo tak terlibat dengan pemukulan Ferdy. Edo katakan ia sudah sampaikan itu semua pada polisi. Saya menduga penyerangan itu ada kaitannya dengan berita-berita Ferdy tentang pembunuhan Putri. Saya ingat satu percakapan dengan Pak Rinto tentang bagaimana para penegak hukum itu menutupi kasus.  

Polisi, kejaksaan, dan/atau – ya bahasanya seperti bahasa hukum pakai dua kata sambung dan/atau -  pengadilan bisa bermain bersama, yang penting media bisa dipastikan bungkam. Kalau media masih memberitakan, maka kesepakatan bubar.  

”Itulah pentingnya pers sebagai kontrol. Itulah pentingnya wartawan yang idealis dan berani. Pekerjaan kalian itu tak ringan, Dur. Penuh risiko. Hati-hati, tapi jangan pernah takut,” kata Pak Rinto kala itu. 

Ada orang yang menemui saya belum lama berselang. Tak jelas siapa. Mengakunya orang utusan asosiasi importer mobil. Kalau urusannya pasang iklan jual mobil, saya katakan temui saja manajer iklan kami. 

“Oh, ini justru kami diminta oleh Kang Uus menemui Bang Abdur langsung,” kata si utusan. Kang Uus adalah nama manajer iklan Dinamika Kota.  Seorang marketer andal. Jejaringnya luas sekali di kota ini. Ia yang bikin omzet iklan kami tumbuh terus tiap bulan.   

”Kenapa harus ketemu saya? Kalau urusan pemberitaan nanti saya kirim wartawan saya saja,” kataku. 

Si utusan dengan gaya yang makin lama makin memuakkan menyampaikan undangan pada saya untuk datang ke showroom-nya. Pilih satu mobil yang mana saja yang saya mau. Ada orang yang sudah membayarnya untuk saya. 

”Siapa orang itu?”

”Nah, itu, Bang Abdur, silakan datang saja ke showroom kami, nanti bos saya yang jelaskan,” katanya.  Saya katakan terima kasih dan saya tak akan datang.  Sehabis pertemuan itu saya menemui Kang Uus dan bicara keras padanya. Kang Uus jelaskan itu yang suruh kabag humas Polresta.  “Saya nggak enak, saya dekat sama beliau. Satu kampung,” kata Kang Uus.  

”Buat apa? Bilang aja terima kasih dan jangan lakukan itu lagi. Kita nggak bisa diatur-atur, dibeli, disuap dengan cara begitu. Kalau koran kita tak dipercaya pembaca, pemasang iklan juga tak percaya sama kita, Kang,” kata saya.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: