JURNALISME INVESTIGASI: KODE ETIK

JURNALISME INVESTIGASI: KODE ETIK

Ilustrasi Jurnalisme Investigasi--(dokumen/radarkaur.co.id)

7. KODE ETIK
Bila dalam peliputan, wartawan yang mematuhi Kode Etik Jurnalistik (KEJ) masih kerap mendapatkan “efek samping” peliputan. Tentu dampak akan lebih besar didapat jika Kode Etik Jurnalistik diabaikan atau dikesampingkan.

Efek samping berbeda dengan efek utama. Dalam setiap berita yang ditayangkan ke publik akan menimbulkan dampak atau efek samping peliputan.

Oleh karena itu, disetiap peliputan ada dua lemen pokok, yaitu isi berita dan metode pemberitaan.

Implikasi isi berita merupakan efek utama. Sedangkan, metode pemberitaan merupakan efek samping yang merujuk pada di luar substansi liputan (metode mengumpulkan atau menyampaikan berita).

Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak (UU Pers Nomor 40/1999, pasal 4 butir 4).

Tujuan utama Hak Tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber-sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi (penjelasan UU No.40/1999).

Namun, esensi Jurnalisme tetaplah kepentingan publik. Kepentingan jurnalisme tidak boleh berdiri lebih tinggi daripada kepentingan publik.

Prinsip kerahasiaan narasumber atau ketentuan embargo, tidak boleh menciderai kepentingan publik itu sendiri.

Wartawan harus tetap memantau narasumber hingga kasus tersebut tuntas. Namun, wartawan dapat menolak kesepakatan dengan narasumber (yang berada dipihak tersangka atau buronan polisi) apabila menyangkut kepentingan umum.

Wartawan tidak boleh melakukan intervensi termasuk jual beli informasi.

Dalam hal ini, wartawan berhak untuk menyembunyikan identitas narasumber sehingga menyebutnya dengan sumber anonim.

Ada 7 kriteria sumber anonim yaitu:

1) Sumber berada pada lingkaran pertama peristiwa;

2) Keselamatan narasumber terancam;

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: