Oleh: Zacky Antony
SAYA tidak mengenal secara pribadi dengan Harmoko. Latarbelakang sama-sama wartawan menginspirasi saya menulis tentang sosok yang terkenal dengan “Hari-hari Omong Kosong” tersebut. Kebetulan, dulu saat masih Pemred di Harian Rakyat Bengkulu, saya juga punya wartawan namanya Harmoko. Ketika proyeksian berita tidak dapat, secara guyon tapi serius, saya sering ngomong, “Kamu ini benar-benar Harmoko, hari-hari omong kosong.”
Tokoh-tokoh orba memang dikenal punya julukan yang melekat pada sosok masing-masing. Adam Malik terkenal dengan kalimat “semua bisa diatur.” Nah, Harmoko terkenal dengan kalimat “Atas Petunjuk Bapak Presiden.” Kebetulan keduanya sama-sama berlatarbelakang wartawan. Harmoko sempat diprediksi mengikuti jejak Adam Malik menjadi Wapres. Tapi pak Harto ternyata lebih memilih BJ. Habibie.
Tagline Atas petunjuk bapak presiden mengiringi langkah Harmoko hingga lengser keprabon diterjang arus gelombang reformasi 1998. Julukan itu bahkan terus melekat sampai akhir hayatnya Minggu 4 Juli lalu. Banyak postingan di media sosial menulis “Harmoko, Atas Petunjuk Bapak Presiden, Wafat.” Ada yang bersimpati, turut berduka dan memanjatkan doa. Ada pula yang menulis postingan bernada sinis. Itu sudah menjadi risiko menjadi pejabat publik. Dipuja dan dicaci. Dicintai sekaligus dibenci.
Saya masih mahasiswa saat Harmoko berada di puncak karir menjadi ketua Umum Golkar dan Ketua DPR/MPR tahun 1997-1998. Semua mafhum, di ujung rezim orba, kebencian mahasiswa sangat membuncah terhadap tokoh-tokoh orba. Harmoko adalah salah satu orang sangat dekat dengan Soeharto. Jabatan Menteri Penerangan selama 14 tahun menjadi bukti dia adalah tangan kanan Soeharto. Dia adalah jubir tak tergantikan penguasa orde baru tersebut.
Saya ingat betul…pernah suatu malam ketika sedang berkumpul sesama aktivis menonton televisi (TVRI), berdiskusi sambil ngopi. Seorang teman langsung mematikan televisi saat muncul gambar Harmoko di layar tv. Dia adalah tokoh kedua identik dengan rezim orba setelah Soeharto sendiri.
Kemuakan pertama mahasiswa muncul menjelang Sidang Umum MPR Maret 1998. Ketika itu Harmoko di televisi berkata-kata (omong kosong) dan dikutip sejumlah surat kabar, dirinya sudah keliling berbagai pelosok Indonesia. Kesimpulannya; rakyat Indonesia masih menginginkan pak Harto menjadi presiden lagi. Untuk yang ketujuh kali.
Konteks suasana saat itu, pernyataan Harmoko tersebut bertolakbelakang dengan arus kuat yang menghendaki suksesi kepemimpinan nasional. Dia sepertinya ingin menunjukkan loyalitas kepada Soeharto. Harmoko secara berani menentang arus tuntutan perubahan yang telah bergema di mana-mana. Suara reformasi kian kencang di kampus-kampus. Dengan kata lain, dukungan Harmoko atas pencalonan Soeharto pada Maret 1998 itu ibarat menyiram bensin di atas jerami kering.
Tumpukan jerami orde baru itu akhirnya benar-benar terbakar. Menghanguskan “orang-orang” di dalamnya. Jakarta membara. Kerusuhan pecah di berbagai kota. Puncaknya, empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak. No point to return. Reformasi tak bisa ditawar-tawar lagi. Termasuk oleh Harmoko sekalipun.
Di tengah serbuan ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR, pria kelahiran Nganjuk Jawa Timur 7 Februari 1939 itu, berpidato meminta Soeharto mundur. Epik ini mirip bait lagu "kau yang memulai, kau yang mengakhiri.” Harmoko yang mencalonkan pak Harto, Harmoko pula yang meminta mundur pak Harto. Cerita dalam lagu ini diulangi lagi oleh Amien Rais yang mencalonkan Gus Dur, tapi Amien Rais pula yang menurunkan Gus Dur. Begitulah sandiwara kehidupan yang hanya sekejap ini.
Siapapun orangnya, di akhir hidupnya pasti membagi dalam dua sisi. Positif dan negatif. Yang memuji dan yang membenci. Sejumlah tokoh pers mungkin masih menyimpan rasa benci, terkait kebijakan Harmoko saat menjadi Menteri Penerangan, membredel sejumlah surat kabar. Yang paling fenomenal adalah pembredelan Tempo, Detik dan Editor pada Juni 1994. Riuh pembredelan tersebut memercik api perlawanan terhadap rezim orde baru.
Terlepas kekurangan sebagai manusia biasa, Harmoko sebagai pribadi tetaplah sosok jempolan. Dia wartawan hebat. Orator ulung. Dia pandai membaca situasi. Sikap dan keberaniannya dalam kapasitas sebagai Ketua DPR/MPR meminta Soeharto mundur pada 18 Mei 1998 harus diakui mempercepat proses reformasi. Terbukti, tiga hari setelah itu pak Harto benar-benar menyatakan mundur. Sebagai pimpinan wakil rakyat, Harmoko dalam posisi sulit untuk membendung gerakan mahasiswa menuntut pak Harto turun.
Kalau saja saat itu Harmoko tetap memposisikan diri memback up pak Harto atas nama loyalitas, jalan sejarah mungkin berbeda. Perjuangan reformasi pasti akan menguras sosial cost lebih besar lagi. Karena itu, di awal kalimat pamungkas meminta mundur itu, Harmoko mengawalinya dengan kata-kata “demi persatuan dan kesatuan bangsa.”
Setelah menjadi wartawan, saya membaca profil sejumlah tokoh pers nasional. Banyak wartawan Indonesia hebat-hebat. Mochtar Lubis, BM Diah, Jacob Oetama, Dahlan Iskan dll. Sebagai wartawan, saya mengagumi tokoh-tokoh wartawan yang mampu tampil menjadi pemimpin bangsa dan Negara. Sebagaimana saya mengagumi Adam Malik yang menjadi putra Indonesia pertama dan satu-satunya yang menjadi Ketua Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Wartawan Indonesia lah yang memimpin sidang forum PBB tersebut. Bukan yang lain. Adam Malik juga merupakan wartawan pertama dan satu-satunya di Indonesia menjadi Wakil Presiden ke-3 menggantikan Hamengkubuwono IX, setelah cukup lama menjadi Menteri Luar Negeri.
Harmoko, seperti halnya Adam Malik, adalah wartawan yang mampu menjadi Ketua DPR/MPR, Menteri Penerangan dan Ketua Umum Golkar. Sederet jabatan tersebut sudah cukup bukti bahwa dia bukan orang biasa. Yang menarik, sama halnya dengan Adam Malik, Harmoko menjalani semua itu secara otodidak. Dia mengawali karir dari bawah sebagai wartawan sekaligus kartunis Harian Merdeka. Selanjutnya menjadi wartawan Angkatan Bersenjata, lalu mendirikan Pos Kota.
Banyak wartawan menjadi Ketua Umum PWI, tapi hanya Harmoko yang menjadi menteri. Pertanda bahwa dia orang pilihan.
Selamat jalan Harmoko.
Penulis adalah wartawan yang juga Ketua Dewan Kehormatan PWI Provinsi Bengkulu