Dia beberapa kali mengajakku dan anak-anak panti yang tinggal di pesantren bermain ke pantai yang banyak terbentang di pulau-pulau yang tersambung jembatan Gortam.
Kami seperti ibu dan ayah bagi anak-anak yatim itu. Kami seperti suami istri.
Dia sibuk dan cemas dengan anak-anak yang riang berenang.
Sesekali menyuruh aku menyusul mereka yang bermain terlalu jauh ke tengah laut.
Aku membayangkan, seperhatian itulah nanti dia mencemaskan anak-anak kami.
”Apa kabar Suriyana, Mas?” tanya Inayah.
Saya agak terkejut. Terdiam dan sejenak kami bertatapan.
”Eh, salah ya? Boleh tanya kabar dia, kan?”
”Boleh. Dia kayaknya baik-baik saja tuh...”
”Kok kayaknya?”
”Ya, karena dia tak pernah mengabari apa-apa lagi, setelah malam itu...”
Sejenak kembali kami saling diam.
”Mas, bulan depan, ayah sama ibu mau datang ke sini. Mas mau ketemu nggak?”
”Oh, tentu mau. Nanti pastinya kapan beritahu aja ya,” kataku.
Inayah lalu bercerita tentang ayahnya yang pernah menjadi wartawan dan kemudian menjadi dosen di Pekanbaru.
Inayah anak sulung. Dia yang paling ingat, masa-masa ayahnya masih bekerja sebagai wartawan.