”Bangga sekali dia menjadi wartawan. Tapi tekanan-tekanan yang dia terima karena pemberitaan medianya membuat dia menyerah. Menjadi dosen bukan pekerjaannya idamannya. Meski dia sangat suka mengajar, seperti ibuku yang juga guru,” kata Inayah.
”Jadi, bakat mengajarmu itu karena ibumu juga guru dan ayahmu dosen,” kataku.
”Ya, betul. Dan saya melihat ada sosok ayah dalam dirimu, Mas. Ayah yang dulu wartawan,” kata Inayah.
”Oke, nanti kalau ketemu beliau akan saya lihat apa betul penghilatanmu. Atau kamu salah lihat karena mata hatimu rabun oleh sesuatu...”
”Sesuatu itu apa?”
”Nggak tahu. Kamu yang ngerasain...”
”Mas Abdur sok tahu ya. Kok bisa tahu apa yang kurasakan? Apa karena Mas Abdur juga sedang rabun oleh sesuatu itu?”
”Mungkin...” Lalu kami tertawa.
Anak-anak yatim itu kelelahan berenang. Mereka sibuk bermain pasir dan ada yang berbaring dan tertidur setelah menghabiskan bekal makanan. Inayah memasaknya sendiri.
Kalau dalam film-film itu, setelah percakapan seperti kami tadi, biasanya akan dilanjutkan dengan adegan kejar-kejaran dan siram-siraman air laut.
Saya tersenyum membayangkan hal itu.
”Jalan, yuk...” kataku.
”Yuk,” kata Inayah, dia bergegas berdiri. Lalu berseru kepada Rodi, ”jaga adik-adikmu ya...”
Setelah jauh dari anak-anak, Inayah berlari, ”kejar aku, Mas...” Dia berlari ke arah laut.
Aku mengejarnya. Dalam jarak yang cukup dekat dia dengan dua tangan menyemburkan air laut ke arahku! Sambil tertawa lepas.
Kalau ini pengambilan gambar untuk adegan film, saya tak ingin mendengar sutradaranya lekas-lekas berteriak cut! Ini bukan akting.