"Perserikatan Bangsa-Bangsa menganggap perpindahan penduduk dalam skala besar tidak mungkin terjadi tanpa konsekuensi kemanusiaan yang buruk. PBB mendesak agar perintah apa pun, jika memang dikeluarkan, dibatalkan sehingga tragedi yang terjadi saat ini tidak meningkat menjadi situasi bencana," kata Dujarric.
Pada tanggal 5 November, pasukan IDF telah mengepung Gaza dan maju ke pantai, sehingga membagi wilayah tersebut menjadi bagian utara dan selatan.
BACA JUGA:Setelah Aqua, Le Minerale Kena Imbas Seruan Boikot Produk Israel, Induknya ada di Tel Aviv
IDF mengklarifikasi bahwa koridor satu arah ke selatan untuk evakuasi warga sipil tetap terbuka.
Pada saat yang sama, publikasi Israel Haaretz melaporkan bahwa IDF melakukan serangan besar-besaran terhadap kota tersebut.
Keesokan harinya, pejabat IDF sekali lagi mengumumkan bahwa penduduk Gaza utara harus pergi, namun hanya diberikan waktu empat jam untuk evakuasi.
Sementara itu, menurut data tahun 2023, terdapat 2,1 juta orang yang tinggal di Jalur Gaza.
Menurut perkiraan terbaru PBB, sekitar 1,5 juta penduduk daerah kantong tersebut terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Karena padatnya konstruksi dan kepadatan penduduk yang tinggi, serangan IDF di Gaza disertai dengan sejumlah besar korban sipil.
Oleh karena itu, Komisaris Jenderal Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA), Philippe Lazzarini, sebelumnya melaporkan bahwa sekitar 70% dari mereka yang terbunuh di Jalur Gaza akibat serangan Israel adalah perempuan dan anak-anak.
IDF telah berulang kali dikritik karena menargetkan daerah pemukiman di Gaza, serta daerah dan lokasi di mana warga sipil berlindung.
BACA JUGA:Cara Mengatasi Marak Kasus Pinjol versi Bacapres Anies Baswedan: Mengembalikan Peran Koperasi!
Jadi, akibat penyerangan RS Al-Ahli, menurut berbagai sumber, 500 hingga 800 orang tewas.
Pasukan Israel kemudian menyerang Gereja Ortodoks Yunani Saint Porphyry , tempat para pengungsi Palestina berlindung.