Tak ada lagi musik, tak ada lagi pesta, dan yang paling menyakitkan, tak ada lagi toleransi bagi keberadaannya.
Baru beberapa menit Budi berjalan, ia melihat sosok petugas ketertiban di ujung jalan.
Jantungnya langsung berdegup kencang.
Tanpa berpikir panjang, ia berlari.
Karung di pundaknya bergoyang liar, menimbulkan bunyi gemeretak botol-botol plastik.
Budi berlari sekuat tenaga, menyelinap di antara gang-gang sempit yang sudah akrab baginya.
Tangannya masih erat menggenggam karungnya, harta satu-satunya.
Di tengah pelarian, ia merasakan ironi yang menyakitkan.
Kemarin, ia berjalan di tempat yang sama, bebas dan tak terlihat.
Hari ini, ia kembali menjadi anak kecil tanpa arti, seseorang yang harus selalu lari untuk sekadar bertahan hidup.
Ketika akhirnya Budi berhenti untuk beristirahat, ia terduduk di sudut jalan, terengah-engah dan memandang karungnya dengan mata berkaca-kaca.
Ia sadar, hari kemarin hanyalah mimpi singkat di tengah realitas yang tak pernah berpihak.
Baginya, pesta besar itu bukanlah bagian dari hidupnya, hanya sekelebat ilusi yang berlalu tanpa jejak.
Namun, di balik rasa letih dan sedih, Budi tersenyum kecil.
Setidaknya, kemarin ia telah merasakan seperti apa dunia yang sejenak berpihak padanya.
Ia tahu bahwa hari-hari ke depan mungkin tak akan berbeda dari sebelumnya.