Siapa Membunuh Putri (29): BAP

Siapa Membunuh Putri (29): BAP

Sidang--

”Bapak kerja sendiri ya, Pak?”

”Seperti yang kamu lihat,” katanya. ”Tentu saja saya tak melakukan sendiri. Kami juga bantu saya kan? Dur, tahu kan kenapa aku cerita terbuka begini ke kamu? Cuma satu, saya percaya sama kamu, sejak semula saya lihat kamu orang yang bisa saya percaya. Apalagi ketika tahu kamu akan jadi menantunya Azhari. Dia itu tak pernah mau berutang pada orang. Padahal kami itu kurang dekat apa, dulu pertama dia pernah tinggal bareng saya. Ada anaknya di sini, calon istrimu itu, ia juga tidak cerita,” katanya.

Pak Rinto dengan wajah serius bertanya, seperti mengajukan dakwaan, ”Saya bisa percaya sama kamu, kan, Dur?”

”Saya menghormati orang yang memercayai saya dan menjaga kepercayaan yang diberikan pada saya, Pak,” kata saya. Sepertinya bukan kalimat itu yang penting buat Pak Rinto, tapi bagaimana saya mengucapkannya, dia seperti penyidik yang dengan awas mendeteksi apakah ada kebohongan di wajah saya ketika mengatakan kalimat itu. Sepertinya dia tak menemukan itu.

Dia lalu berdiri. ”Tunggu,” katanya. Tak lama kemudian dia keluar dari ruang kerjanya, dengan tiga jilidan berkas tebal. ”Ini tiga berkas perkara termasuk BAP tersangka pembunuhan Putri. Yang untuk Awang dan Runi tak beda jauh dengan yang sidang sebelumnya, ada tambahan terkait keterlibatan Pintor. Kamu pelajari BAP Pintor. Itu baru.”

            Dari mana Pak Rinto dapatkan salinan ini? Kalau pun saya tanyakan ia pasti tak akan menjawabnya. Ia tampaknya hanya ingin menunjukkan bahwa jejaring pengaruhnya memang sekuat dan seluas itu. Ia bisa dapatkan BAP itu. Ia pasti bisa dapatkan informasi apa saja. Jadi teringat nasihat Pak Indrayana Idris dalam satu rapat besar kami. Sebagai wartawan kita jangan pernah merasa sombong dan merasa diri paling tahu. Kita akan malu, rendah diri, kalau kita tahu apa yang diketahui oleh para pengusaha-pengusaha besar itu. Mereka punya uang untuk membelinya, karena mereka memerlukannya dan harga kepentingan yang mereka pertaruhkan jauh lebih besar dari harga informasi yang mereka bayar. 

Sementara wartawan harus taat pada kaidah dan etika jurnalisme. Itulah yang menjaga wartawan, yang membuat hasil kerja dan pekerjaannya menjadi berharga. Bukan berarti kita tak berdaya, tapi justru informasi yang kita dapatkan menjadi berharga karena keterbatasan itu.  

Dalam konteks ini pula saya memahami hubungan Pak Rinto dengan siapa pun yang membayar dan membeli informasi darinya. Saya sekilas membuka-buka BAP itu. Sebagai wartawan saya seperti menemukan harta karun.

”Itu sudah jadi milikmu. Milik mediamu. Gunakan sebatas tak melanggar aturan apa-apa. Dan jaga kepercayaan saya. Saya cuma minta, turunkan sedikit tensi pemberitaanmu. Sementara, kalau bisa, jangan menambah ketegangan, ya,” kata Pak Rinto.  

Kenapa tiba-tiba saya merasa Pak Rinto seperti sedang mengasihani saya, dan saya tak suka dengan itu. Atau dia memang benar-benar peduli sama saya, sama Inayah anak sahabatnya? Apakah dengan cara ini dia ”membeli” saya? Ke mana dia hendak mengarahkan saya? (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: