Siapa Membunuh Putri (29): BAP

Siapa Membunuh Putri (29): BAP

Sidang--

“Terus, selepas tak lagi dinas, apa yang Pak Rinto kerjakan?”

“Nah itu rahasianya. Saya ceritakan ke kamu sekarang,” katanya. 

Rinto dan Azhari muda, dulu, pernah menolong beberapa perempuan muda korban trafficking, perdagangan manusia. Mereka direkrut sebagai tenaga di tempat-tempat hiburan, karaoke, panti pijat, bar, mereka diiming-imingi gaji menggiurkan, nyatanya mereka tak lebih dari sekadar dijadikan pelacur.  Dipekerjakan seperti budak. Terikat kontrak, tak bisa lari, dikawal ketat. 

Suatu kali ada enam orang kabur dan dikejar preman suruhan pemilik pelacuran. Saya masih ingat nama-nama mereka. Enam orang itu membawa bukti-bukti keterlibatan beberapa oknum keamanan dan nama-nama tokoh besar lain. 

Rinto dan Azhari mengupayakan enam orang itu lari mengamankan diri dulu ke luar pulau dengan kapal lewat pelabuhan tikus. Mereka bawa bukti-bukti yang mereka punya. Modal perlawanan mereka.  Di tengah laut, awak kapal yang ternyata sudah dibayar oleh jaringan mafia itu, terjun ke laut dan kapal itu dibakar. Enam orang perempuan malang itu itu hilang. Tak berjejak. 

“Azhari sangat terpukul. Ia merasa telah ikut membunuh enam orang itu. Ia tak bisa melakukan apa-apa. Tak ada sumber yang tahu, kalaupun tak tak ada yang mau buka mulut.  Koran tempatnya bekerja tak mau memuat beritanya. Ia mendesak saya untuk melakukan sesuatu. Saya juga tak bisa apa-apa. Atasan saya tak memercayai laporan saya. Kamu tahu apa kata atasan saya waktu itu? 'Selama tak muncul di koran berarti tak ada kejadian itu’, katanya,” kata Pak Rinto. 

Sejak itu Pak Rinto percaya betul pada kekuatan media yang independen, yang dikelola wartawan yang masih punya idealisme. Tapi media kerap ada pada posisi yang rapuh, seringkali tinggal berdiri sendiri atau dengan mudah terbeli. Atau menyerah. 

”Pak Azhari menyerah,” kataku. ”Pak Rinto juga menyerah…”

”Sebagai polisi saya memang menyerah. Saya keluar. Tapi saya tak melupakan keinginan kami untuk bisa berbuat sesuatu agar kota ini berkembang dengan benar. Menghargai manusia. Memanusiakan manusia,” katanya.

”Apa yang bapak lakukan?”

”Tawaran itu tak datang serta-merta. Saya sudah kontak dengan orang-orang yang kemudian saya tahu siapa mereka. Satu-satunya orang yang kuajak bicara minta pertimbangan adalah Azhari. Kami tahu yang kami lawan itu kekuatan yang kami tak tahu sebesar apa, yang ada di seberang sana,” katanya.

Mungkin karena mengambil pilihan itu, kata Pak Rinto, ia merasa seperti menjadi seorang pengkhianat. Tapi ia menimbang lebih banyak manfaat dan perbaikan yang bisa ia lakukan. Rinto menerima tawaran menjadi informan bagi semacam kelompok penentu yang sangat berpengaruh di negeri seberang sana itu. Ia tak pernah tahu persisnya bekerja dengan siapa. Semua diatur rapi, termasuk bagaimana dana operasional masuk dan ia terima. 

”Kamu ingat Habibie pernah bilang mau bangun pelabuhan bongkar muat peti kemas yang lebih besar daripada negeri seberang itu? Secara kemampuan teknis dan dana apa yang tak bisa? Tak pernah rencana itu terwujud? Tidak. Karena kalau itu terjadi, berhenti berdetak jantung ekonomi di negeri seberang itu.  Nah, saya sepertinya bekerja dengan mereka yang mengatur upaya penggagalan rencana itu.  Apa pun mereka lakukan. Yang saya lakukan hanya memberi informasi dan pendapat, pandangan saya. Tak ada rahasia yang saya jual ke mereka, saya bukan mata-mata. Saya bukan intel,” kata Pak Rinto. 

”Jadi persisnya apa pekerjaan Bapak?” tanya saya. Orang di kota ini mengenal dia sebagai komisaris dan pemilik perusahaan jasa, seperti penyedia tenaga sekuriti dan sewa kendaraan juga jasa sopirnya untuk pabrik-pabrik di kawasan industri Watukuning.  

”Saya ini berusaha dengan cara-cara tak langsung menjaga Borgam aman.  Kenapa saya bantu masjid, gereja, pesantren, sekolah, usaha-usaha kecil? Karena kota ini akan aman, kalau orang sini sejahtera, fisik dan jiwanya. Azhari pernah bikin penelitian. Apa yang diinginkan warga kota ini? Nomor satu itu rasa aman. Kedua kerukunan. Kesejahteraan ekonomi malah nomor tiga. Itu hasil penelitiannya, lho. Saya memang tak jadi polisi lagi, tapi saya tetap berurusan dengan rasa aman orang-orang, dengan skala yang lebih besar, dengan sumber daya yang lebih besar.” papar Pak Rinto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: