Bawang Yawuyoko

Bawang Yawuyoko

Pemuda Wamena saat bersama Dahlan Iskan--(dokumen/radarkaur.co.id)

Oleh: Dahlan Iskan

TERBAYAR kemarin. Kangen saya ke Wamena. Anak Wamena itu ke Jakarta. Sudah tambah dewasa. Sudah menjadi pemuda Disway. Lima tahun tidak bertemu dengannya.

Dulu ia sekolah di Parung, Bogor, lalu kuliah di Pamulang, Jakarta. Ia sudah sarjana teknik informatika.

Ketika pulang ke Wamena. Ibunya sakit. Dia janda. Sejak pemuda Disway itu berumur 3 tahun. Ia harus menemani ibunya. Tiga tahun kemudian ibunya meninggal dunia.

"Sekarang di Wamena kerja apa?" tanya saya.

"Mencangkul," jawabnya.

Saya kaget. Tapi senang juga. Pribadinya begitu kuat. Ia tidak canggung tetap bertangan kotor meski sudah menjadi sarjana di Jakarta.

Ia memang mewarisi tanah ladang dari ayahnya. Di pegunungan Jayawijaya. Seluas sekitar 1 hektare.

Letaknya di celah gunung, di pedesaan, sekitar 1,5 jam naik sepeda motor dari kota Wamena. Sangat di pedalaman Papua. Saya pernah ke area desa itu 10 tahun lalu.

"Sekarang menanam apa?" tanya saya.

"Tanam bawang," jawabnya.

"Bawang merah?"

"Daun bawang. Yang kami panen daunnya. Dijual ke pedagang. Dibawa ke luar daerah," jawabnya.

Meski kerja di ladang kulitnya tidak lebih hitam dan rambutnya tidak lebih lurus. Wajahnya tetap wajah cendekia seperti umumnya orang Papua dari Wamena.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: