Bawang Yawuyoko

Bawang Yawuyoko

Pemuda Wamena saat bersama Dahlan Iskan--(dokumen/radarkaur.co.id)

"Hasilnya tetap sama. Tidak ada penurunan," katanya.

"Diberi pupuk apa?" tanya saya.

"Tidak diberi pupuk apa-apa," katanya. "Tidak ada yang jual pupuk di Wamena," tambahnya.

"Diberi pupuk kotoran hewan?" tanya saya lagi. 

"Juga tidak".

Itulah tanah Wamena. Tanah Jayawijaya. Yang umumnya di ketinggian 3.000 meter di atas permukaan laut. Atau lebih tinggi lagi. Petaninya tidak mengenal pupuk. Tidak ada yang jual pupuk. Tanamannya tetap tumbuh subur.

Juga tidak ada saluran irigasi. Curah hujan cukup sekali. Sepanjang tidak ada perubahan iklim. Mungkin sampai traktor masuk Wamena. Atau mobil bensin kian banyak di sana. Tambah lagi pembangkit listrik fosil.

Maka baiknya mobil listrik dimulai dari Wamena. Sekalian sepeda motornya. Tidak boleh lagi ada penjualan mobil dan motor bensin di sana. Mumpung listriknya juga dari tenaga air. Kalau kelak tidak lagi cukup masih bisa membendung sungai Wamena. Bisa menghasilkan listrik sebesar berapa mega pun pun. Cukup untuk 9 kabupaten di Jayawijaya.

Lebih satu jam saya ngobrol asyik dengannya. 

Pemuda Disway itu pamit. Senin besok mau kembali ke Wamena. Lewat Jayapura. 

Namanya: Faruq Aten Asso. Umur 27 tahun. Ia Islam sejak lahir, di pegunungan Jayawijaya. Demikian juga kakak perempuan dan adik laki-lakinya. SD-nya pun di madrasah ibtidaiah di kampung itu. Lalu dapat beasiswa ke pesantren di Parung. Dari Parung ia kuliah di UIN Syarif Hidayatullah. Tidak tamat. Lalu menyelesaikan kuliah di universitas swasta dengan mahasiswa terbesar di Indonesia: Universitas Pamulang.

Di Jayawijaya ia punya masjid. Kalau Jumat ia yang berkhotbah. Waktu peringatan Maulid Nabi dua minggu lalu ia menyelenggarakan acara adat setempat: bakar batu.

Di sana, acara bakar batu sangat spesial. Natal bakar batu. Kematian, bakar batu. Perkawinan bakar batu. Iduladha bakar batu. Ada yang untuk ulang tahun pun bakar batu.

Saya pernah disambut acara bakar batu di sana. Orang sekampung berkumpul. Di tanah ladang yang lapang. Tanpa peduli agamanya apa. Yang penting sama-sama berkulit hitam dan berambut keriting. Pun kalau ada pendatang. Yawuyoko lebih penting dari perbedaan keyakinan. Mereka saling bantu.

Upacara bakar batu tidak bisa dilakukan sendirian. Harus orang banyak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: