Bawang Yawuyoko

Bawang Yawuyoko

Pemuda Wamena saat bersama Dahlan Iskan--(dokumen/radarkaur.co.id)

"Saya mendapat pengetahuan dari orang Jatim. Pak Sumadi. Guru SD," ujarnya.

Daun bawang itu sudah bisa dipanen di umur 3 minggu.

"Kabarnya untuk dikirim ke Timika. Untuk masakan karyawan di Freeport," ujar pemuda Disway itu.

Kini banyak petani sekitarnya ikut menanam bawang. Selebihnya masih menanam hepuru. Atau kol. Atau selada. Bayam. Dan hortikultura lainnya.

Sejak pulang ke Wamena ia sudah enam kali panen daun bawang.

"Mohon doa restu kami lagi bangun rumah di kota Wamena," ujarnya.

Ia sudah membeli tanah 22 x 22 meter di kota. Bangun rumah dari bata.

"Dari hasil pertanian?" tanya saya.

"Iya....," katanya lirih, lantas tersenyum menunduk.

"Sampai kapan tanam bawang?"

"Sampai tidak laku lagi," katanya. Habis menanam bawang ini ia akan menanam bawang lagi. Dan lagi. Dan lagi. 

Di sekeliling bawang itu ia tetap menanam hepuru. Itu bahan makanan pokok di sana. Tidak boleh tidak punya hepuru.

"Kalau persediaan beras di rumah akan habis kita tidak punya rasa waswas. Tapi kalau hepuru akan habis kita cemas," katanya.

Ia dan umumnya orang Wamena, lebih memilih makan hepuru daripada nasi. Nasi hanya dimakan sesekali. Siang hari. Pagi dan malam lebih enak makan hepuru. Terutama makan malam. Tanpa lauk apa pun.

Bagaimana bisa; habis tanam bawang tanam bawang lagi? Sampai enam kali berturut-turut? Dan masih akan bawang lagi? Tidakkah hasilnya kian menurun?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: