Juga sangat ragu untuk menerima.
Dalam banyak hal, grup PR di mata orang banyak, di negeri ini, lebih baik dari grup koran kami.
Grup kami memang lekas sekali berkembang. Seakan-akan tanpa perhitungan bisnis yang matang. Intuitif saja.
Mitos yang dipercaya orang, katanya, Indroyono Idris, CEO grup kami itu, kalau mau bikin koran cukup lihat apakah di kota itu ada ATM BCA.
Kalau ada berarti layak buka koran.
Kelak saya bertemu dengannya, saya tanyakan mitos itu.
Tapi logikanya mudah saja, BCA tentu tak sembarang buka cabang.
Pasti sudah dengan survei dan kajian perputaran uang yang cukup untuk sebuah cabang bank mereka.
Grup PR sebaliknya amat berhati-hati mengembangkan koran-koran di daerah.
Pakai survei dan riset yang makan waktu lama.
Bang Jon meletakkan dua pilihan di hadapanku: bergabung di grup yang besar, mapan, dan legendaris itu, atau tetap di grup kami yang muda, agresif, dan baru saja memberiku sebuah kenaikan posisi karir yang amat lekas kuraih.
”Kau jawab besok saja, tak usah hari ini. Eh, tapi aku hari ini dan besok izin tak masuk ya. Sudah bertahun-tahun kayaknya aku ndak pernah cuti,… Bilang sama Eel ya, aku izin, malas aku hubungi dia,” kata Bang Jon.
Seorang perempuan manis sekali, menghampiri kami setelah dilambai oleh Bang Jon.
Dia diperkenalkan sebagai Nenia.
”Ini lho, Si Abdur yang sering kuceritakan kamu. Yang kode beritanya ‘dur’ itu,” kata Bang Jon.
Nenia datang, mendekat seperti cahaya terang dan mengubah aroma kopi dan teh dari uang air panas dari tempat penyeduhan itu jadi wangi.