Saya seakan tak ingin habis bercerita tentang surat kabar yang sedang kumulai.
Kami bertukar nomor ponsel. Dia berjanji berkemungkinan bisa datang tiap akhir pekan terkait aktivitas filantropi lembaga yang ia kelola.
Feri membawa Suriyana kembali. Saya membayangkan feri yang sama nanti merapat ke pelabuhan yang sama dan saya menunggu dia keluar di pintu kedatangan.
”Bang Abdur kembali ke kantor?” bertanya Inayah, setelah di mobil itu hanya tinggal kami berdua dan sopir.
Saya mengiyakan. Dia melanjutkan, ”Senang ya, bisa ketemu teman lama. Teman seistimewa itu, bisa ketemu lagi, setelah lama menghilang. Pasti senang banget, ya,” kata Inayah.
Saya menyelidik apakah ada kandungan cemburu dalam kalimatnya itu? Sepertinya ada. Sedikit.
Meskipun saya bisa melihat Inayah telah menyembunyikannya dengan sangat baik. Saya justru berharap itu tak ada. Tak ada apa-apa di antara kami. Belum ada. Kami baru saja ketemu tadi.
Saya berharap memang pernah tak pernah ada hubungan apa-apa. Hormon di tubuhku terkunci dan sedang kembali bereaksi untuk Suriyani.
Ada banyak kiriman karangan bunga ucapan di kantor untuk edisi perdana Dinamika Kota. Penuh sepanjang jalan. Datang dari banyak orang, tokoh, kantor, dan lembaga.
Bang Eel sedang memotretnya satu per satu.
”Dari mana aja, Dur? Tadi dicari, Bang Ameng… dia datang ke sini tadi. Itu papan ucapannya yang paling besar itu,” kata Bang Eel menunjuk papan nama yang paling besar, paling mewah, dengan nama Maestrocorps, di antara puluhan yang lain.
Bang Eel ajak rapat dengan pemasaran. Hendra Mangindaan, manajer pemasaran kami sebut angka lima belas ribu untuk cetak besok.
”Itu permintaan agen. Sebagian besar sudah bayar di depan,” katanya.
”Hari ini banyak yang minta tambah tak bisa kita layani.”
”Yakin, itu, Ndra?” kata Bang Eel.
”Yakin asal beritanya kayak hari ini. Lanjutkan soal pembunuhan itu,” katanya.