Teddy tragis sekali. Ia lulusan terbaik Akpol tahun 1993. Sampai bisa terpilih menjadi ajudan wapres.
Tapi karirnya setelah itu tidak lagi ke atas. Memang tidak juga ke bawah. Lebih tepat hanya ke samping: jadi kapolda Banten yang wilayahnya begitu kecil, lalu wakapolda Lampung, dan masuk ke staf ahli.
Agustus tahun lalu ia jadi kapolda lagi, namun masih di wilayah kelas B, Sumbar.
Maka teman-temannya melihat Teddy bukan pemilik bintang yang terang. Yang tidak perlu didekati atau ditempel. Ia bukan kelompok Sambo yang cemerlang.
Temannya melihat selama banyak tahun terakhir Teddy seperti tertekan jiwanya dalam masalah karir.
Waktu di majalah Tempo saya diajari untuk memperhatikan para juara angkatan di Akabri.
Mereka pasti calon pemimpin masa depan. Saya memperhatikan Teddy karena ajaran itu. Ia juara angkatan 1993. Bukan karena kenal.
Kadang sulit mengikuti perjalanan karir para juara itu. Apalagi ketika tidak terlalu aktif lagi di media.
Maka di kalangan wartawan yang memperhatikan mereka, Teddy digolongkan yang bintangnya redup.
Barulah wartawan tiba-tiba terjaga ketika Teddy diangkat menjadi kapolda di wilayah A: Jatim. Lima hari lalu. Yakni setelah bintang-bintang di kelompok Sambo banyak disisihkan.
Saya bisa membayangkan betapa kaget Teddy menerima pemberitahuan jadi kapolda Jatim itu. Kagetnya orang gembira. Umurnya 51 tahun, masih nututi kalau setelah itu masih akan naik lagi.
Tiba-tiba saja seperti ada bintang baru yang akan meramaikan persaingan menuju langit ke-7.
Putra dari seorang ayah Madura dan ibu Tionghoa-Muslim Pasuruan itu tinggal menunggu pelantikan. Ibarat pengantin tinggal menuju pelaminan.
Setelah menerima telegram pengangkatannya sebagai Kapolda Jatim itu ia belum ke Surabaya.
Ibunya memang masih tinggal di Pasuruan tapi Teddy tunggu sekalian dilantik.
Pelaminan sudah disiapkan. Tapi terjadilah peristiwa narkoba itu. Ia hampir naik tapi tidak jadi naik. Ia juga tidak ke samping. Ia tidak hanya turun. Ia jatuh.