Akhirnya, Sultan Abdul Qahar jatuh dalam pengaruh Kompeni.
Pada 1680, dia bahkan mengirimkan utusan untuk mengucapkan selamat atas jabatan gubernu jenderal baru yang kini dijalankan Cornelis Speelman.
Tindakan ini tentunya menyakiti perasaan rakyat Banten dan lebih-lebih ayahnya sendiri.
Sultan Ageng Tirtayasa pun segera menyusun pasukan yang terdiri atas aliansi dengan pelbagai suku bangsa, semisal Makassar, Melayu, dan rakyat dari Pontang, Caringin, Tanara, Lampung, serta Bengkulu.
BACA JUGA:Cerita Rakyat Jawa Barat: Lutung Kasarung dan Purbasari
Kali ini, mereka hendak menyasar Surosowan yang sudah melewati batas toleransi.
Di basis kekuasaan Sultan Abdul Qahar itu, pasukan Belanda sudah berjaga-jaga.
Teranglah bahwa Kompeni berpihak padanya.
Sementara itu, banyak tentara Banten yang dikirim ke Pontang justru menggabungkan diri ke barisan Sultan Ageng Tirtayasa.
Pada 27 Februari 1682, pecahlah perang di antara dua kubu tersebut.
BACA JUGA:Lomba Panjat Pinang, Ultah Ratu Belanda dan Penghinaan Martabat Bangsa Indonesia
Meskipun dengan kekuatan penuh, pada akhirnya pasukan Sultan Ageng Tirtayasa tidak mampu menghalau kekuatan Belanda dan Sultan Abdul Qahar.
Berbulan-bulan lamanya pemimpin Banten itu berjuang mati-matian, khususnya di sepanjang perbatasan Tangerang - Batavia.
Setelah Pontang jatuh ke tangan Belanda, ibu kota Tirtayasa pun tinggal menunggu giliran.
Akhirnya, Sultan Ageng Tirtayasa yang diikuti para pendukung setianya dan pasukan serta laskar-laskar rakyat terpaksa menyingkir ke pedalaman.
BACA JUGA:Dipicu Reunian, Kota Tetangga Bengkulu Ini Sumbang 100 Janda Baru per Hari