Mereka memutuskan untuk mencari daerah baru yang terletak di pesisir Sumatera, yang di harapkan dapat menggantikan posisi pelabuhan Sunda Kelapa sebagai atau pelabuhan laut yang sangat vital bagi perdagangan pada masa itu.
Keputusan untuk memilih daerah pesisir barat Sumatera, setelah usaha untuk menyerang dan menaklukan Kesultanan Palembang gagal, kerajaan Banten baru menfokuskan untuk menguasai daerah disekitar pesisir Barat pulau Sumatera.
Tugas penaklukan pantai barat Sumatera itu dilakukan oleh Pangeran Santa (Senehati), dengan terlebih dahulu
menaklukan Lampung.
Setelah pesisir Lampung Selatan ditaklukan ia menetap di daerah Ketapang Kalianda.
Baru setelah posisinya pulih dan kuat setelah penyerangan Lampung, ia melanjutkan perjalanannya dan tiba di Bandar Bintuhan sekitar tahun 1693.
Bandar Bintuhan kemudian dipilih oleh Pangeran Santa sebagai tempat yang cocok dan nilai sangat strategis.
Oleh sebab itu ia mulai melakukan pembangunan pelabuhan laut di daerah Bintuhan dan daerah ini nantinya berkembang menjadi salah satu pelabuhan dagang yang cukup diperhitungkan di pantai Barat Sumatera.
Sementara itu sebagai bukti keberadaan dari keberadaan keluarga Raja Luwih di Lampung adalah, bahwa sampai saat ini masih ada tanah adat disekitar Ketapang Kalianda, Lampung yang diakui banyak orang sebagai milik Kerajaan Kaur.
Setelah daerah Bintuhan dapat dikuasai dan kemudian diputuskan untuk menetap di sana.
Semenjak itu pula Pangeran Santa (Sante) sering mendapat tantangan dan gangguan dari Kerajaan Rejang, yang pada waktu itu telah terlebih dahulu menguasai daerah Kaur.
Perselisihan tersebut berkembang menjadi perang terbuka antara Pangeran Santa (Sante) dengan kerajaan Rejang.
Gangguan yang dilakukan oleh Kerajaan Rejang ini sudah sangat menganggu dan tidak lagi bisa di atasi oleh pasukan Pangeran Santa (Sante).
Maka kemudian ia meminta bantuan adiknya, Pangeran Raja Luwih Seberani Gunung Kaur yang pada masa itu masih bermukim di Ketapang Kalianda.
Dalam perjalanan dari Ketapang Kalianda menuju Kaur, beliau membuat pedang pusaka yang diberi nama "SEBARAU LAPAR ", guna menghadapi Kedikdayaan Balandika dari Kerajaan Rejang.
Selain dalam rangka membantu menghadapi Kerajaan Rejang, Raja Luwih Seberani Gunung Kaur juga diminta membantu untuk menghadapi gangguan dari pemberontak dari Abung (Penumpu) yang sering menganggu dan memeras Rakyat Kaur.
Pedang Sebarau Lapar saat ini disimpan dengan baik oleh keturunan Raja Luwih Seberani Gunung Kaur. yang
bermukim di Desa Way Hawang, Marga Sambat.