1. Ruas Pertama diisi dengan Tanah
2. Ruas Kedua diisi dengan Batu
3. Ruas Ketiga diisi dengan Air
Yang kesemuanya diambil dari Ketapang Kalinda atau ada sebagian masyarakat yang menyebutnya dengan nama
Ujang Lancang.
Hal itulah yang menyebabkan Pangeran Raja Luwih Seberani Gunung Kaur luput dari kutukan dan kematian karena sumpah palsu, sebab tanah, batu dan air yang terdapat dalam ruas tongkatnya memang benar-benar milik Pangeran Raja Luwih Seberani Gunung Kaur.
Pangeran Raja Luwih Seberani Gunung Kaur kemudian menikahi Putri Cendi Mas dari Bengkenang Lembak, Mulak Hulu, yang merupakan kerabat dari raja-raja kedaulatan Pasemah.
Pada sekitar tahun 1697, Pangeran Raja Luwih Seberani Gunung Kaur mendirikan Kerajaan Kaur dengan pusat pemerintahannya terletak di daerah Liapan, Sambat.
Kerajaan Kaur runtuh pada tahun 1842, setelah terjadi peperangan dengan Belanda dan Pangeran Cungkai di langit
ke-3 sebagai raja yang berkuasa pada saat itu melakukan evakuasi ke Tanjung Gina dan meninggal dunia di sana.
Tahta dan tampuk kekuasaan kemudian dipegang oleh Ratu Dale yang melakukan pelarian dan memindahkan pusat
pemerintahan ke daerah Hulu Luas, tepatnya di daerah Kedu atau Penyakaian.
Pada masa pemerintahan Ratu Dale inilah beliau memberikan wilayah Peraduan Tinggi sampai ke daerah Sumur Kayu Rimau kepada Suku Semendo.
Prosesi penyerahan itu dilakukan oleh Raja Niti selaku panglima perang Kerajaan Kaur. Sedangkan Suku Semendo diwakili oleh Andaluddin dari garis keturunan Sarang Pemancing.
Pada sekitar tahun 1831, prosesi pembagian wilayah dan pengangkatan sumpah sebagai saudara tersebut ditulis
pada sepasang tanduk kerbau Belantan.
Kemudian sebelah tanduk tersebut dipegang oleh keturunan raja Niti dan sebelah tanduk lagi dipegang oleh keturunan Andaluddin.
Demikian cerita tentang awal mula berdirinya Kerajaan Kaur.