Organisasi Masyarakat Sipil Minta Pemerintah Indonesia Tidak Terburu-buru Menyetujui Perjanjian Pandemi
RADARKAUR.CO.ID - Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia telah mengirimkan surat terbuka kepada Pemerintah Indonesia yang mendesak agar tidak terburu-buru menyetujui Perjanjian Pandemi yang saat ini sedang dibahas di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Meski tidak mengesampingkan pentingnya instrumen internasional untuk kesiapsiagaan, pencegahan, dan respons pandemi, OMS menegaskan agar pemerintah tidak cepat mengesahkan perjanjian jika usulan yang ada belum sepenuhnya mengakomodasi kepentingan negara-negara berkembang.
Terutama terkait pendanaan yang memadai untuk kesiapsiagaan pandemi, akses yang adil terhadap komoditas kesehatan, serta penguatan tenaga kesehatan.
BACA JUGA:Kebahagiaan Ritel, Kenikmatan Belanja Tiada Akhir di Dubai Mall
Perjanjian Pandemi ini dirancang untuk memperkuat kesiapsiagaan, pencegahan, dan respons internasional terhadap pandemi di masa depan.
Proses perundingannya telah berlangsung sejak Desember 2021 dan ditargetkan selesai pada putaran perundingan yang berlangsung dari 29 April hingga 10 Mei oleh Intergovernmental Negotiating Body (INB9).
Naskah final Perjanjian Pandemi diharapkan dapat dipertimbangkan pada Pertemuan Majelis Kesehatan Dunia ke-77 pada 27 Mei 2024.
Pandemi COVID-19, yang telah menyebabkan sekitar 7 juta kematian dan kerugian ekonomi global sebesar $2 triliun, menjadi latar belakang penyusunan Perjanjian Pandemi. Selama pandemi COVID-19, ketimpangan akses kesehatan sangat nyata.
BACA JUGA:Soal Merger XL Axiata dan Smartfren, Ini Kata Managing Director Sinar Mas Ferry Salman
BACA JUGA:Kecelakaan Saat Pulang Mengajar, Kaki Guru PPPK di Kaur Ini Diamputasi, Butuh Kepedulian!
Menjelang tenggat waktu penyusunan naskah final Perjanjian Pandemi, lebih dari 10 OMS Indonesia yang bergerak di bidang kesehatan mendukung surat terbuka ini.
Indonesia for Global Justice (IGJ), salah satu penggagas surat terbuka ini, mengungkapkan bahwa alasan pengiriman surat adalah kurangnya transparansi dan minimnya keterlibatan langsung negara-negara anggota dalam penyusunan naskah.
Selama perundingan, tidak ada negosiasi berbasis teks yang dipimpin oleh negara anggota. Selain itu, kepentingan negara-negara berkembang belum terakomodir dengan baik dalam draf terakhir perjanjian.