Mak Edi
Prof Dr Azyumardi Azra Ketua Dewan Pers yang meninggal dunia--(dokumen/radarkaur.co.id)
Itu satu-satunya di Indonesia. Itu satu-satunya di luar negara-negara Persemakmuran di Asia. Prof Azra istimewa.
"Tapi kami tidak pernah menggunakan keistimewaan itu," ujar Emily Azra, putri bungsunya.
"Ayah juga tidak pernah menggunakan gelar Sir untuk diri beliau," tambah Emily.
Kalau ada yang pernah menuliskan gelar ''Sir'' di depan nama Azyumardi Azra itu orang dari luar.
Islam Nusantara belakangan menjadi istilah yang umum. Tapi orang Minang sendiri tidak setuju dengan istilah Islam Nusantara.
Islam ya Islam. Penolakan itu karena istilah Islam Nusantara, belakangan, lebih dihubungkan dengan Walisongo dan adat Jawa.
Dan lagi Prof Azra memang tidak banyak menyebut jaringan Walisongo dalam penelitian ilmiah untuk buku Jaringan Ulama.
Ini juga dipersoalkan oleh intelektual muda Islam seperti Aguk Irawan MN. Dan Prof Azra, kata Aguk, dalam sebuah tulisannya, mengakui itu.
Aguk, anak Lamongan nan NU, adalah sastrawan terkemuka dan pemikir muda Nahdliyin.
Ia banyak menerjemahkan buku dari bahasa Arab. Ia alumni Al Azhar Kairo di ilmu filsafat akidah.
Doktornya dari UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta. Novelnya Titip Rindu ke Tanah Suci mendapat penghargaan sastra.
Ulama Indonesia yang banyak disebut dalam jaringan Azra adalah Abdurrauf as-Singkili. Ulama dari Singkil, Aceh.
Bacalah sendiri buku Prof Azra. Yang dijual di Tokopedia dengan harga Rp 190.000.
Orang seperti Prof Komar dan Prof Azra adalah contoh intelektual yang dilahirkan secara sengaja.
Kampus Ciputat memang lambang kebangkitan intelektual Islam yang bisa diterima Barat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: