JURNALISME INVESTIGASI: Wartawan Bukan Polisi, Ia Bekerja dengan Batasan!
Ilustrasi Jurnalisme Investigasi--(dokumen/radarkaur.co.id)
Wartawan bukan polisi
Investigasi yang dilakukan jurnalis bukan investigasi dalam konsep kepolisian. Meski sebagian teknik yang digunakan bisa saja sama, seperti pengamatan, pegintaian, atau bahkan penyamaran atau uji laboratorium.
Tapi jurnalis tetap jurnalis. Ia bekerja dengan batasan yang sangat jelas. Jurnalis tidak bisa menggeledah rumah atau kantor seseorang.
Jurnalis tidak bisa menyita dokumen, jurnalis juga tidak mungkin memanggil paksa narasumbernya, atau mustahil juga menangkap seseorang.
Demikian juga, dengan alasan apapun, jurnalis tak dibenarkan mengambil atau mencuri sebuah dokumen dari pihak lain.
Sebab tetap saja, kebenaran jurnalistik bukan kebenaran hukum. Fakta jurnalistik juga tidak selalu sama dengan fakta hukum.
Bila hasil investigasi jurnalis tidak lebih hebat daripada investigasi polisi atau jaksa, itu memang sudah “kodrat”nya.
Mustahil membandingkan hasil kerja jurnalis dengan aparat yang memiliki kewenangan menyita dokumen, menggeledah TKP, memanggil paksa atau menangkap orang.
Karena itu laporan investigasi yang baik, tak harus berakhir dengan vonis penjara bagi aktor-aktor yang dianggap terlibat. Tapi bagaimana dari laporan itu, masyarakat (termasuk institusi hukum atau Negara) bisa mengambil keputusan atau menindaklanjutinya.
2. MODAL INVESTIGASI
Dalam proses liputan investigasi wartawan harus memiliki modal dasar. Ada 5 modal dasar dalam investigasi, sebagai berikut:
1. Modal 1: Kemauan, Keberanian, Dan Ketekunan
* Kemauan artinya wartawan harus mau meluangkan waktu ekstra, artinya wartawan yang ingin melakukan investigasi harus punya komitmen untuk berkorban baik waktu maupun materi sebelum menuntut pihak lain untuk berkorban.
Intinya, dalam melakukan liputan investigasi pengorbanan waktu menjadi indikator apakah seorang jurnalis memiliki kemauan yang kuat atau tidak.
Bukan hanya wartawan, perusahaan yang ingin pamor/prestis medianya naik karena kerap membuat liputan-liputan yang berpengaruh, harus rela melakukan investasi waktu agar kultur investigasi berkembang diinstitusinya.
* Keberanian artinya wartawan harus memupuk Nyali.
Nyali wartawan adalah salah satu modal utama dalam kerja-kerja investigasi. Manajemen nyali adalah sesuatu yang harus dilakukan tidak saja oleh mereka yang bekerja dilapangan, tapi juga tim pendukungnya.
Tim pendukung yang bekerja dikantor tidak boleh menjadi “provokator” yang bisa menjerumuskan rekannya dilapangan dalam resiko, tapi disaat yang sama, mereka juga tak boleh menjadi factor yang melucuti semangat, dan tanpa disadarai, menjadi bagian terror yang akan menghambat gerak maju proses peliputan.
Seorang jurnalis harus bisa memahami jika liputan investigasi memiliki resiko cukup tinggi. Dalam buku ini dicontohkan beberapa hasil liputan investigasi dengan tingkat resiko yang cukup tinggi dimana wartawan investigasi harus siap mengadapinya.
Namun demikian, meski mencontohkan hasil investigasi yang beresiko tinggi, buku ini juga tidak mengajarkan pembaca untuk nekat atau mengambil resiko.
Resiko bisa datang dalam bentuk yang ekstrem, tetapi juga bisa diukur dan diperkirakan. Jam terbang dan naluri adalah faktor penting untuk mengukur ancaman untuk bisa menghasilkan liputan yang berkualitas.
* Ketekunan atau keuletan.
Mereka yang sukses dalam investigasi kadang bukan wartawan yang pandai, tapi wartawan yang tekun dan ulet. Ibarat atletik, investigasi membutuhkan pelari-pelari jarak jauh dengan papas panjang-panjang, dari pada sprinter 100 meteran.
Tanpa ketekunan maka wartawan akan mudah frustasi dan buru-buru dalam mengambil keputusan.
2. Modal 2: Jejaring yang Luas.
Seorang jurnalis investigasi harus memiliki jejaring yang luas untuk menghasilkan liputan investigasi yang berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Seperti misalnya, seorang jurnalis harus memiliki jejaring mulai dari orang terdekat sesama wartawan sampai orang-orang penting dan lain-lain.
Namun wartawan yang melakukan kerja investigasi harus dipastikan memiliki “dosis kedekatan yang sehat” dengan para pejabat. Agar tidak tumpul akibat tidak bisa menjaga jarak.
Dalam buku juga dipaparkan beberapa istilah jejaringan, yaitu:
* Pintu Keluar Terdekat. Wartawan harus mampu memanfaatkan narasumber terdekat mulai dari membuat jejaring sesama wartawan.
* Nara Sumber “Durian Runtuh”. Dalam kegiatan investigasi ada 2 faktor yang menentukan, yakni usaha keras dan keberuntungan. Bisa saja seorang wartawan bertemu narasumber penting yang tidak disengaja. Itu namanya narasumber “Durian Runtuh”. Namun keberuntungan tidak akan datang tanpa dipancing dengan usaha keras.
* Deep Throat atau Whistle Blower. Dalam jurnalistik ini dimaknai sebagai “orang dalam” yang memberi informasi penting dalam sebuah proses investigasi.
Mereka yang berpotensi menjadi whistle blower, antara lain:
1. Orang dalam instansi atau kelompok yang menjadi target.
2. Pesaing atau kompetitor (contoh: dalam tender proyek).
3. Bekas orang dalam (yang sudah pensiun, keluar atau pindah).
4. Kelompok yang menjadi oposan (barisan sakit hati atau kelompok yang termarjinalkan).
5. Orang-orang di lingkaran target yang tertangkap, sedang dihukum atau “bertobat”.
3. Modal 3: Pengetahuan Yang Memadai
Informasi dan ide liputan investigasi sebenarnya berserak di sekitar kita. Yang perlu kita lakukan adalah membuka semua pancaindera dan terus-menerus melatih kepekaan, ketekunan, dan kesabaran.
Setelah menerima sebuah informasi, yang perlu dilakukan selanjutnya adalah menakar atau menentukan nilai informasi itu.
Menilai Informasi (Assesment)
Seiring pengalaman dilapangan selama menjadi jurnalis, maka pengetahuan jurnalis akan semakin bertambah, sehingga assessment-nya pun lebih tajam.
Pada titik tertentu, rasio dan nuraninya akan mulai terusik. Dititik itulah, lalu dia memutuskan untuk melakukan investigasi tentang apa yang sesungguhnya terjadi.
Sepotond informasi baru memiliki nilai berita bila wartawan memiliki pengetahuan yang cukup untuk menakar dan menilai kadarnya.
4. Modal 4: Keterampilan Mengemas Laporan
Sangat penting bagi wartawan mengenal karakter media dan topic liputan investigasi yang akan digarapnya.
Tidak semua topik liputan investigasi cocok untuk semua media. Ada topik-topik tertentu yang akan lebih maksimal dampaknya bila digarap oleh jenis media tertentu.
Rumusnya sederhana:
1. Angka dan data untuk media cetak/ internet
2. Rekaman suara untuk radio
3. Gambar bergerak untuk televisi
Namun untuk semua Wartawan dar segala jenis media yang paling penting adalah harus memiliki keterampilan dan jeli dalam pengemasan laporan investigasi.
Apabila wartawan gagal menyajikannya menjadi menu yang enak dan menarik, maka semua usahanya akan sia-sia.
5. Modal 5: Komitmen Institusi Media
Dukungan dan komitmen dari institusi media untuk rela membebaskan wartawannya dari kewajiban “mengejar setoran” berita harian dan memberikan kesempatan menggali informasi untuk melakukan penyelidikan.
Media juga mesti rela menyiapkan ruang bagi laporan-laporan panjang dan mendalam. Tulisan dan laporan investigasi yang bagus dapat mengangkat citra dan gengsi media tersebut. Sehingga akan berdampak juga dengan citra bisnis perusahaan.
3. PERENCANAAN INVESTIGASI
Garis besar perencanaan dalam sebuah proyek investigasi adalah sebagai berikut:
1. Langkah I: Membentuk Tim (multi spesialisasi).
Tim investigasi tidak berarti harus banyak orang. Semua tergantung pada kompleksitas kasus yang ditangani.
Fungsi dari tim dalam investigasi bukanlah soal pembagian kerja semata, tetapi untuk saling menjaga substansi cerita.
Setiap anggota tim bekerja sebagai sebuah system. Sehingga jika ada anggota tim yang disfungsi, maka yang lain ikut terimbas, konstruksi laporan yang ingin dihasilkan akan gagal. Misi jurnalisme investigasi pun gagal.
2. Langkah II: Melakukan Riset dan observasi awal (survey).
Riset Sebagai Inti Investigasi
Riset dalam investigasi biasa dipahami sebagai fase yang harus dilakukan sebelum turun ke lapangan. Tetapi ada kalanya, riset juga menjadi inti dari action investigasi itu sendiri, terutama bilsa dari hasil riset itu bisa ditarik kesimpulan. Atau riset itu menjawab hipotesa yang telah kita bangun.
Observasi Awal atau Survey
Adalah untuk pengumpulan informasi guna menyusun perencanaan. Dalam hal ini, berbeda pengertiannya teknik observasi dalam konteks liputan media cetak atau radio.
3. Langkah III: Menentukan Angle (Fokus) dan merumuskan hipotesis.
Sebelum memulai investigasi, jurnalis terlebih dahulu mendiskusikan untuk menjawab pernyataan fundamental: apa yang hendak kita ungkap?
Dari situ kemudian sebuah investigasi dapat dimulai. Sudut bidik liputan (angle) penting agar fokus kebagian tertentu hendak dicari jawabannya.
Pohon Masalah
Untuk dapat mempermudah dalam menentukan fokus akan lebih baik dibuat rangkaian masalah atau pohon masalah, sehingga kronologinya dapat terlihat jelas.
Jurnalis tidak boleh memakai “kacamata kuda” dan jangan segan-segan mengubah fokus setelah terlebih dahulu mendiskusikan dengan tim.
Merumuskan Hipotesa
Hipotesa disusun setelah menentukan angle. Sedangkan untuk merumuskan sebuah hipotesis harus berdasarkan dugaan yang dikaitkan dengan logis dan potongan fakta yang sudah ada ditangan.
Hipotesa bisa disusun secara deduksi (logika) maupun induktif (Informasi).
Beda merumuskan hipotesa dengan menentukan angle atau fokus liputan:
Bila angle bertanya: “ apa yang hendak anda ungkap?”. Maka hipotesa akan menjawab pertanyaan itu. Lalu merumuskan dugaan anda berdasarkan kaitan logis dan potongan fakta yang sudah ada ditangan.
“…Brainstorming, lakukan dengan kegilaan, do it with passion, buka mata, buka telinga, buka hati, meskipun terhadap hal-hal yang tidak masuk akal. (Saat) pelaksanaan/ eksekusi (barulah) lakukan dengan rasional, dengan otak,”.
4. Langkah IV: Merencanakan Strategi Eksekusi.
Ini semacam merancang skenario “operasi tempur”. Perencanaan dan strategi sangatlah penting. Segala sesuatu yang telah disiapkan dengan rapi saja masih meninggalkan lubang, apalagi tanpa strategi.
5. Langkah V: Menyiapkan Skenario Pasca-Publikasi.
Menyiapkan skenario pasca publikasi harus menjadi bagian dari perencanaan. Segala kemungkinan perlu diinventarisir, tidak hanya agar resiko bisa diantisipasi, akan tetapi persepsi ancaman itu akan membuat kita lebih teliti dan akurat dalam menyusun laporan untuk publik.
Dalam menyiapkan scenario pasca pulikasi harus disusun potensi ancaman, daftar pihak yang langsung atau tidak langsung terimbas dan cara menghadapinya dan siapa saja pihak yang dapat memberi pertolongan.(bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: