Iklan-iklan ucapan selamat sudah diorder oleh berbagai pijak, asosiasi, pebisnis, pemerintahan, lebih dari ratusan halaman totalnya.
Beberapa sudah terbit, iklan ucapan dari para pemasok dan penyedia berbagai jasa.
Iklan lowongan kerja sudah sejak beberapa bulan sebelumnya, dan itulah yang bikin angka oplah kami meningkat tinggi.
”Siapa namamu? Abdur, ya? Dur? Kamu punya baju batik yang bagus, nggak?” tiba-tiba Pak IDR menunjuk saya, bicara pada saya.
”Saya, Pak?” saya kaget.
Saya sejak awal sadar hadir dalam rapat itu hanya anak bawang yang tidak penting, timun bengkok yang tak masuk hitungan.
”Iya, kamu… Punya batik bagus, nggak?”
”Yang jelek aja nggak punya, Pak,” kata saya menjawab jujur, tapi bikin seluruh yang hadir dalam rapat itu tertawa.
Saya sungguh tak bermaksud melucu.
Apakah itu jawaban yang bodoh atau konyol?
Sampai bikin semua orang tertawa?
”El, belikan dia batik yang paling bagus, dan paling mahal,” kata Pak IDR, memberi perintah pada Bang Eel.
”Nanti kamu pakai pas peresmian pabrik Maestrochip Corp. Saya diundang, saya mau ajak Abdur hadir.”
Saya memang tak punya baju batik. Kecuali dulu batik kodian seragam sekolah.
Tapi mengingat batik mau tak mengingatkanku pada perempuan itu.
Perempuan yang masih kuharapkan bisa kutemukan lagi, yang jadi semacam alasan tambahanku datang ke kota pulau ini.